BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Metode sastra
bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Penekanan
sastra bandingan adalah pada aspek kesejarahan teks. Itulah sebabnya sastra
bandingan bersifat positivistik. Kajiannya bercorak binari (duaan) dan bertumpu
pada rapport defaits, artinya perhubungan faktual antara dua buah teks yang
diteliti secara pasti. Kegiatan yang dilakukan juga menganalisis, menafsirkan
dan menilai karena objeknya
lebih dari satu, setiap objek
harus ditelaah, barulah hasil telaah tersebut diperban dingkan.
Bisa saja, peneliti melakukan analisis struktural kedua karya, baru
diperbandingkan. Dengan cara ini akan mempermudah peneliti melakukan bandingan.
Setidaknya akan mudah ditemukan unsur persamaan dan perbedaan setiap karya
sastra.
Penelitian
sastra bandingan dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra
yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan
pembaca dalam beberapa periode. Namun, periode waktu yang dimaksud masih berada
dalam satu rentang waktu.
Penelitian
resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa
periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari
teks-teks yang muncul
setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis
dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat
dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
perspektif dalam sastra banding ?
2.
Apa yang menjadi
subjek dan objek sastra bandingan ?
3.
Apa persyaratan
objek dan subjek sastra bandingan ?
4.
Apa saja
tahap-tahap analisis sastra banding ?
C.
Manfaat
Mengetahui dan mendalami perspektif dalam sastra banding,
subjek dan objek sastra bandingan, persyaratan objek dan subjek sastra
bandingan dan tahap-tahap analisis sastra banding.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perspektif dalam Penelitian
Perspektif adalah sudut
pandang. Perspektif penelitian sastra bandingan terkait dengan sudut pandang
apa saja yang digunakan dalam bandingan. Perspektif ini akan menentukan
sejumlah paradigma penelitian secara menyeluruh. Perspektif dapat pula disebut
sifat dan atau arah studi sastra bandingan.
Sastra bandingan memuat empat
perspektif, yakni:
1. Penelitian
yang berperspektif komperatif.
Maksudnya, penelitian ini terutama dititikberatkan pada penelaahan teks karya
sastra yang dibandingkan, misalnya karya sastra Chairil Anwar dengan karya
sastra Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini dapat dikatakan merupakan titik
awal munculnya sastra bandingan, karenanya penelitian ini selalu dipandang
sebagai bagian terpenting dalam penelitian sastra bandingan. Sastra dengan
perspektif serupa ini sekarang banyak diikuti oleh para ilmuwan yang bergerak
dibidang filologi, baik modern maupun klasik.
2. Penelitian
yang berperspektif historis.
Penelitian yang bersifat historis lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai
historis yang melatarbelakangi kaitan satu karya sastra dengan karya sastra
lainnya. Penelitian ini dapat berupa masuknya satu ide, aliran, teori kritik
sastra, ataupun genre dari satu
negara ke negara lainnya. Penelitian semacam ini sering menjadi tumpuan dalam
studi sosiologi sastra dan bandingan. Maksudnya, dua atau lebih karya sastra
diteliti melalui sosiologi sastra, baru dibandingan satu sama lain.
3. Penelitian
yang berperspektif teoritis.
Penelitian ini menggambarkan konsep, kriteria, batasan, ataupun aturan-aturan
dalam berbagai bidang kesusastraan. Sebagai contoh adalah konsep-konsep
mengenai berbagai aliran, kriteria, genre, teori, pendekatan, serta
batasan-batasan yang berkaitan dengan masalah tema. Penelitian semacam ini
biasanya dianut oleh seseorang yang hendak memahami karya sastra secara
struktural, baik struktural murni, dinamik, maupun semiotik. Karya sastra lebih
dahulu dikaji dengan kacamata struktural baru kemudian dibandingkan.
4. Penelitian
yang berperspektif antardisiplin. Penelitian
ini sering pula disebut sastra interdisiplin. Penelitian ini memang bukanlah
murni penelitian sastra, melainkan berupa penelitian inter dan atau ekstrinsik
sastra. Sifat penelitian ini, sesuai dengan istilahnya, tidak menelaah
karya-karya sastra semata, melainkan membicarakan juga hubungan isi karya
sastra dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan juga
karya-karya seni.
Keempat
perspektif itu digunakan oleh para pemerhati sastra bandingan. Masing-masing
perspektif memiliki aspek dominan dalam hal-hal tertentu, tergantung sasaran
dan arahnya. Sasaran dan arah ini dibingkai oleh tujuan dan manfaat yang hendak
dipetik dari sastra bandingan. Penelitian sastra bandingan memiliki manfaat
besar dalam wilayah nasional ataupun dunia. Pada tataran nasional, sastra
bandingan mengarahkan penelaahan atas sastra asing dan membandingkannya dengan
sastra umum, mengurangi kadar kefanatikan bahasa dan sastra umum atau pribumi
tanpa mencari kebenaran. Fanatisme sastra seringkali mengabaikan sekian banyak
karya sastra nasional. Di Indonesia ada kecenderungan, asal ditulis oleh
pengarang yang berasal dari pusat kota, dianggap karyanya lebih hebat dari karya
pinggiran.
Perpektif
demikian juga membuka peluang pemilihan metode sastra bandingan yang tepat.
Seorang peneliti sastra bandingan membutuhkan kumpulan pembelajaran yang
membantunya mengkaji karya sastra. Ketika peneliti hendak menekankan pada aspek
sejarah, misalnya, sastra bandingan menjadi studi sejarah sastra. Dalam hal ini
sangat penting peneliti memiliki pengetahuan luas serta memahami perkembangan
dan peristiwa sejarah, mengetahui hubungan sosial antar bangsa yang begitu
beragam, serta memahami metologi ilmu sejarah. Dalam hal ini ilmu sastra
bandingan tetap merupakan cabang ilmu sastra, dan sejarah merupakan bagian
terpenting dalam penelitian ini.
Ada
beberapa bekal yang patut dipersiapkan oleh peneliti sastra bandingan yang
berkaitan dengan perspektif, antara lain sebagai berikut:
a.
Setelah mengerti
sejarah, peneliti juga mengetahui perjalanan para tokoh dan studi sample
kemanusiaan dalam sastra yang dikenal di setiap bangsa dan sastra itu sendiri.
b.
Mengetahui ragam
bahasa sangatlah penting dalam studi sastra bandingan, misalkan bahasa cinta
orang Jawa dan Makasar yang memiliki oposisi binar luar biasa. Orang Makasar
mengenal oposisi “rumah-merpati”,
sedangkan orang Jawa memiliki “tumpeng-apem”
sebagai refleksi hubungan seksual. Namun pembahasan tidak dituntut untuk
menggunakan seluruh bahasa dalam studi sastra bandingan, karena hal tersebut
adalah satu hal yang mustahil, cukup baginya memilih salah satu bahasa yang
sekiranya mampu dikuasai dengan baik.
c.
Terjemahan,
merupakan ruang lingkup yang baik untuk mengetahui pengaruh sumber-sumber dan
karya-karya sastra besar lainnya.
d.
Kunjungan,
merupakan satu kegiatan yang memiliki faedah yang besar dalam studi sastra
bandingan, karena hubungan antar bangsa membuka peluang untuk satu pemahaman
dan tidak mengendalikan pembelajaran dari buku saja.
Berdasarkan hal diatas, peneliti sastra
bandingan dapat memilih perspektif mana yang lebih tepat untuk melakukan studi
sastra bandingan. Keterkaitan dengan sasaran dan arah yang hendak dicapai dalam
studi ini. Apabila sastra bandingan hanya sekedar untuk penelitian skripsi
tentu berbeda dengan perspektif yang digunakan dalam karya tesis atau
disertasi, meski objek penelitiannya sama. Penelitian akan menentukan kedalaman
dan keluasan studi sastra bandingan. Akan memudahkan langkah strategis dalam
menyiapkan metode dan teori yang akan digunakan untuk penelitian. Dan dapat
juga memudahkan peneliti menggali objek secara cepat.
B.
Menentukan Objek dan Subjek Sastra Bandingan
Objek adalah “bahan
penelitian” yang menjadi fokus sastra bandingan. Objek berkaitan dengan
muatan apa yang terdapat dalam sastra, yang dominan dan layak dibandingkan.
Persoalan objek sastra bandingan dapat terkait dengan tema, tokoh, aspek
sosial, kecerdasan emosi, dan sebagainya. Adapun subjek sastra bandingan
berkaitan dengan karya sastra yang dibandingkan, berbentuk novel, cerpen,
puisi, dan sebagainya. Subjek juga berhubungan dengan tahun penciptaan karya,
karya saduran, terjemahan, dan karya asli.
Sastra bandingan merupakan
salah satu ranah studi sastra yang memerlukan objek khusus. Objek ini perlu
dipilih atau diseleksi agar penelitian berjan dengan maksimal. Dan sama halnya
dengan metode pengumpulan data pada penelitian objek yang lain. Bedanya, sastra
bandingan berserakan dimana-mana.
Hingga dewasa ini belum ada
metode yang tepat untuk sastra bandingan; masih selalu diraba, ditelusuri,
serta trial and error. Baribin
(1993:13-15) mencatat dua metode perbandingan yang terkait dengan penentuan
objek dan subjek, yaitu:
Ø Sastra bandingan diakronik, apabila yang dibandingkan dua
buah karya yang berbeda periode.
Ø Sastra bandingan sinkronik, apabila yang dibandingkan
karya sastra dalam periode yang sama.
Paling lazim dan sering
digunakan dalam studi sastra adalah metode diakronik, namun metode sinkronik
juga tak jarang digunakan. Dengan metode diakronik, sastra bandingan justru
akan membuka wawasan kesejarahan kreativitas.
Pergeseran historis sastra
bandingnan yang dipelori dua mazbah besar, yaitu Prancis dan Amerika, memegang
peran penting dalam penelitian sastra bandingan. Melalui pemikiran Gyard,
metode sastra bandingan di Prancis dilakukan untuk melihat sejauh mana
keterpengaruhan suatu karya sastra dari karya sastra lainnya. Konsep pengaruh
menjadi tumpuan kuat dalam melacak sastra bandingan. Setelah berkembang di
Prancis dan Eropa, sastra bandingan juga menjalar ke Amerika. Di negeri adidaya
ini aspek pengaruh pun tetap menjadi hal yang penting. Namun di sisi lain,
Amerika tampaknya ingin memperluas metode dan wilayah penelitian sastra
bandingan. Esensi dan batasan-batasan penelitian sastra bandingan pun bergeser.
Sastra bandingan pada mazhab Prancis awalnya hanya membolehkan penelitian karya
sastra dengan jenis yang sama, tetapi di Amerika tampaknya melompat ke jalur
“luar sastra”.
Dalam mazhab Amerika, sastra
bandingan seharusnya tidak terbatas pada sastra dengan sastra saja. Mazhab ini
pun memperkenalkan penelitian perbandingan karya sastra dengan disiplin seni
lainnya, seperti misalnya puisi dengan lukisan, puisi dengan patung, cerpen
dengan lagu, atau puisi dengan seni instalasi. Prancis tentu tidak terlalu
senang dengan aturan sastra bandingan versi Amerika. Mereka menyebut mazhab
Amerika sudah membuat sastra bandingan kehilangan isi dan tujuan penelitian
sastra bandingan. Oleh karena itu, sekarang mazhab Prancis dianggap sebagai
aliran klasik, sedangkan mazhab Amerika dianggap sebagai aliran yang lebih
modern.
Melalui persandingan sastra
dengan non sastra, membangun pemahaman sastra secara utuh, sekalipun metode
yang tepat untuk hal itu sedang bertumbuh. Konsep keterpengaruh sastra pada
bidang lain atau sebaliknya bisa saja terjadi. Apalagi di jagad multikultural,
silang budaya dan silang sastra merupakan hal wajar. Proses keterpengaruhan
bisa dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu “yang disengaja” dan “yang tidak
disengaja”. Yang disengaja bisa karena terinspirasi, mengutip, menerjemahkan,
menyadur, sampai mencontek. Adapun yang tidak disengaja, misalnya terjadi pada
pilihan kata, rima, bentuk, atau unsur-unsur lain.
Menentukan objek atau teks yang
hendak dibandingkan merupakan tugas awal sastra bandingan. Keberhasilan
menentukan objek akan menentang dan menjadi stimulus penting untuk
melanjutkannya. Tantawi (2009: 25 Mei, www.ismatantowi.blogspot.com, diunduh 9 februari 2010) menyatakan bahwa sastra
bandingan sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji karya sastra. Yang
dimaksud dengan mengkaji sastra tidak berarti hanya membicarakan sastra saja.
Sastra banding adalah ilmu yang memiliki karangka dan acuan tersendiri untuk
mendekati karya sastra. Sebagai ilmu, penuslis setuju perlu adanya metode
khusus sastra bandingan, setidaknya penguasaan cabang ilmu sastra dibantu ilmu
lain yang serumpun.
Biarpun sastra bandingan
merupakan salah satu bidang yang baru di Indonesia, tidak berarti harus lemah
dalam pemilihan metode dan objek penelitian. Harus diakui bahwa sampai saat ini
belum ada organisasi yang secara khusus mengurusi sastra bandingan, dan belum
ada universitas di Indonesia menawarkan jurusan sastra bandingan kepada calon
mahasiswa, apalagi sampai yang menghasilkan lulisan yang khusus mengkaji sastra
bandingan. Meskipun demikian penulis percaya bahwa sastra bandingan masih
menjadi bagian dari jurusan sastra pada umumnya, bahkan sesekali disentuh oleh
studi interdisipliner sastra.
C.
Persyaratan Objek dan Subjek Sastra Bandingan
Tidak pernah terbayangkan bahwa
tidak semua karya sastra dapat dibandingkan secara acak. Sastra bandingan seharusnya tidak sembarang, melainkan
perlu menemukan di antara dua karya atau lebih yang memiliki ciri-ciri
kemiripan yang dinamakan varian. Ada tiga syarat utama dalam sastra bandingan,
yakni:
1.
Varian bahasa,
artinya dua karya yang bahasanya berbeda tetapi memiliki varian tema, latar,
tokoh, atau pesan yang lain
2.
Varian wilayah,
artinya dua karya atau lebih dari daerah berbeda namun memiliki varian,
misalnya ideologi, kultural, judul, dan sebagainya.
3.
Varian politik,
artinya dua karya atau lebih melukiskan kekuasaan yang berbeda.
Ketiga syarat di atas
tentu bukan hal yang kaku. Artinya,
setiap peneliti boleh saja memiliki persyaratan lain, yang terpenting adalah
unsur varian, kemiripan, dan kesenadaan dapat diraih. Unsur-unsur tersebut pada
akhirnya untuk menemukan persamaan dan perbedaan. Persamaan mengarah karya yang
memang seirama, sedangkan perbedaan mengarah pada orisinalitas karya.
Hal yang paling penting di
antara persyaratan di atas adalah hadirnya konteks saling ilham-mengilhami. Ada
persentuhan estetik karya yang satu dengan yang lain sehingga memunculkan
hal-hal yang mirip. Hal lain yang bisa menjadi pijakan untuk penelitian sastra
bandingan adalah jika ditemukan pengarang yang ceroboh, yang dengan sengaja
atau tidak sengaja menerjemahkan karya orang lain, meski dengan perubahan
beberapa saja, namun diakui sebagai karyanya. Pengarang semacam ini menjadi
incaran penelitian sastra bandingan, begitu pula karya sastrawan yang miskin
ide dan yang meminjam ide orang lain perlu mendapat tekanan khusus dalam
bandingan.
Perlu kecermatan dalam memilih
objek dan subjek penelitian. Tiap penelitian harus menyelami sebuah karya
sastra hingga menemukan varian dengan karya lain. Remark (dalam Stallkenecht,
1971: 1) memberi rumusan strategi bahwa sastra bandingan merupakan studi yang
mencari hubungan antara kesusastraan di satu pihak dan bidang lain, seperti
kepercayaan, seni lukis, musik, arsitektur, filsafat, ilmu sosial, dan sejarah.
Rumusan ini memberikan penegasan bahwa sastra merupakan karya yang kental nilai
kehidupan. Karya sastra menawarkan aneka nilai yang bersumber dari kehidupan.
Objek studi diikuti oleh subjek studi, yaitu karya sastra yang relevan
dibandingkan. Objek dan subjek sastra banding bersifat terbuka, yang sampai
saat ini belum ada rumusan baku. Sastra bandingan dengan sendirinya leluasa,
bisa membanding sastra dengan sastra atau sastra dengan bidang lain. Pangkal
tolak sastra bandingan adalah menemukan keterkaitan antarunsur yang saling
mendukung yang memiliki persaman dan perbedaan. Peneliti dapat menitik beratkan
hanya pada satu masalah, misalnya aliran, genre, citraan, atau tema.
Pemilihan objek dan subjek
penelitian semestinya melalui pendekatan yang baik. Hal ini kembali pada
peneliti dalam mencari dan menggunakan kaidah pendekatan yang paling sesuai dan
palinh efektif. Kecenderungan tertentu, seperti menggunakan pendekatan
sosiologi bagi karya prosa, atau fonologi bagi puisi, psikologi bagi drama,
haruslah diperhatikan sebelum diputuskan. Ada kemungkinan pendekatan yang tidak
sesuai untuk karya-karya tertentu karena wujud yang absurditas. Pemilihan
pendekatan seringkali lebih sesuai dilakukan setelah mengetahui objek
penelitian. Karya-karya Iwan Simatupang, Seno Gumira Ajidarma, Suwardi
Endraswara, Jayus Pete, Krishna Miharja, Keliek Eswe, dan Tryanta Triwikrama yang
bernuansa absurd, misalnya membutuhkan persyaratan pendekatan khusus dan
kejelian peneliti untuk menjadikannya sebagai objek dan subjek penelitian.
Upaya membandingkan dua karya
sastra atau lebih akan membuka wawasan baru bahwa sastra memang kaya makna. Karya
sastra tidak sekedar luapan imajinasi, melainkan menyimpan amanat yang hendak
disampaikan pengarang kepada pembacanya. Hanya peneliti yang menguasai berbagai
pengetahuan tentang sastra dapat menemukan keindahan sastra bandingan. Oleh
karena itu, sebelum membandingkan karya sastra, layak kiranya seorang calon
peneliti memenuhi syarat minimal, yakni memahami karya sastra yang dihadapi
layak disandingkan, calon peneliti bersangkutan dapat mencari informasi dengan
berbagai cara, misalnya lewat internet atau bertanya kepada ahli sastra.
Kebiasaan mengumpulkan,
memilah, dan menafsir bahan-bahan yang didapati seperti yang digunakan oleh
disiplin lain juga digunakan dalam sastra bandingan. Hal ini bukanlah berarti
sastra bandingan “tenggelam” di keluasan laut kesusastraan seperti yang pernah
disebukan oleh Wellek. Setiap pemisahan menendakan adanya sesuatu yang tidak
asli lagi. Keaslian dalam sastra bandingan merupakan masalah dan wujud yang
memerlukan kemahiran dan pendekatan tertentu.
Perspektif pemilihan bahan
penelitian sastra bandingan tidak sama dengan penelitian sastra pada umumnya.
Menurut hemat penulis perspektif pemilihan utama untuk menentukan objek dan
subjek meliputi aspek:
a.
Pararel yang
menjadi tumpuan untuk menyeleksi bahan.
b.
Varian yaitu
munculnya kemiripan dalam hal tokoh, ritme, tipografi, dan unsur-unsur lain.
Pararel dapat dikatakan sebagai
usur kesamaan, sedangkan varian sebagai unsur perbedaan tetapi tetap saling
terkait. Varian dapat disebut juga “bentuk lain” dari yang sudah ada, sedangkan
pararel memiliki bermacam-macam wujud, antara lain ejaan, diksi, kalimat, bait,
gantra, ide, tema, dan muatan budaya. Aspek pararel yang pertama-tama perlu
diperimbangkan. Dengan cara mencermati pararel peneliti bisa menentukan fokus
penelitin. Meskipun demikian kegagalan menemukan aspek varian dalam memilih
bahan juga berpengaruh pada sukses atau tidaknya suatu penelitian.
D.
Pengumpulan Data
Cara untuk pengumpulan data sastra bandingan memang tidak jauh
berbeda dengan penelitian sastra pada umumnya. Hanya saja, sastra bandingan
membutuhkan tahap-tahap yang lebih taktis. Salah langkah dalam pengumpulan
data, hasil penelitian akan sia-sia. Pembacaan harus terus menerus dilakukan
sehingga memperoleh data akurat. Oleh karena itu langkah pengumpulan data perlu
dicermati agar menemukan data yang sahih dan valid. Belum tentu seluruh unsur
teks menjadi data sastra bandingan, sehingga unsur-unsur yang tidak relevan
dapat dianulir atau disingkirkan. Data sastra bandingan perlu pula disertai
upaya “merelevansikan” teks satu dengan yang lainnya.
Akurasi data didukung oleh penguasaan teori
sastra, kririk sastra, sejarah sastra, dan hubungan interdisipliner sastra.
Ketidakmampuan menguasai berbagai persyaratan penelitian sastra bandingan dapat
menyulitkan peneliti. Berikut merupakan beberapa strategi pengumpulan data yang
dipertimbangkan:
a)
Masalah karya
sastra terjemahan yang umumnya menjadi tajuk awal data sastra bandingan.
Terjemahan sering memunculkan kreativitas, penyesuaian dengan lingkungan,
penyelarasan, dan sebagainya. Ada kalanya terjemahan lebih indah dari warna
aslinya. Hal ini dapat menggoda peneliti dalam pengumpulan data.
b) Pembatasan geografis secara sempit juga tidak pernah
terwujud. Apa yang harus dilakukan terhadap penulis yang menulis dalam bahasa
yang sama tapi memiliki kewarganegaraan bebeda? Karya para pengarang yang
menulis dalam bahasa yang sama namun berkebangsaan berbeda, bahkan dengan ide
yang mirip, layak dijadikan sebagai sumber data bandingan. Karena itu wajar
membandingkan karya George Bernard Shaw dan karya H.L.Mencken, atau antara
karya O’Casy Sean dan karya Tennecesse Williams. Karya Tafik Ismail boleh
dibandingkan dengan karya Suparta Brata yang terampil menggunakan bahasa dialek
Jawa Timuran dapat dapat dibandingkan dengan karya Turiyo Regilputro yang
menggunakan dialek Banyumasan.
c)
Sejauh mana
persamaan diambil diantara perbedaan-perbedaan. Sastra Inggris dan Amerika pada
zaman kolonial, misalnya tidak memiliki perbedaan yang jelas. Demikianpun
Maeterlinek dan Verbaeren yang berkebangsaan Belgium tetapi keduanya menulis
dalam bahasa Prancis. Apakah penelitian hubungan karya mereka dengan simbolisme Prancis dianggap sebagai
sastra bandingan? Bagaimana pula dengan penulis Ireland yang menulis dalam
bahasa Inggris dan penulis Finland yang menulis dalam bahasa Swedia? Kesukaran
yang sama juga terwujud dalam penelitian mengenai kedudukan Ruben Dario dari
Nicaragua dalam kesusastraan Spanyol atau Gottfried Keller dari Switzerland dan
Conrad Ferdinand Meyer, Adalbezt Stifteg serta Hugo Von Hofmannsthal
berkebangsaan Austria dalam kesusastraan Jerman. Lain pula dengan penuliss
Amerika T.S. Eliot dan Thomas Mann dari Inggris yang memiliki bahan dan asal
usul yang sama. Begitu pula kalau ada penulis dari Jawa tetapi telah lama
tinggal di Jakarta hingga menulis dalam bahasa Jawa versi Betawi. Persilangan
budaya yang dipertaruhkan setiap pengarang dapat mewarnai pengumpulan.
d)
Ada juga
penulis-penulis dari negara yang sama tetapi menulis dalam bahasa dan dialek
yang berlainan. Kesusastraan Wales berhubungan dengan kesusastraan Inggris,
kesusastraan “Low German” berhubungan dengan kesusastraan Jerman, kesusastraan
Flenish berhubungan dengan kesusastraan Prancis (Belgia), kesusastraan Sicila
berhubungan dengan kesusastraan Italia, dan sebagainya. Seorang pujangga besar,
R.Ng Ranggawarsita, yang pernah menulis dengan bahasa Belanda, tentu memiliki
nuansa estetis yang berbeda. Darmanta Jatman yang menulis puisi dua bahasa,
yaitu Indonesia dan Inggris, layak dijadikan sumber data.
Sumber
data sastra bandingan sudah tidak terbatas pada empat hal di atas. Peneliti
dapat mengembangkan ke jalur-jalur yang lebih kecil. Peneliti dapat merumuskan
langkah-langkah berhadapan dengan objek penelitian. Ketika objek penelitian
sudah dapat dipastikan memiliki varian, baru mulai menerapkan langkah: menyejajarkan unsur kata yang ada kemiripan
tulisan dan bunyi, menyejajarkan unsur
yang memiliki konteks yang sama. Unsur-unsur yang telah disejajarkan
kemudian digolongkan atau dipisahkan satu sama lain, lalu diberi tanda atau
nomor.
Konsep “kesejajaran”(aqality)
amat penting dalam sastra bandingan. Kesejajaran yang tampak realis memudahkan
peneliti, sebaliknya kesejajaran yang irealis atau tak tampak membutuhkan
kecerdasan dan imajinasi. Oleh karena itu untuk menentukan materi akan
membutuhkan: memori bacaan yang telah dikuasai dan memori penguasaan teori atau
konsep.
E.
Pendekatan dan Model
Sastra bandingan tidak hanya
besifat membandingkan karya-karya sastra saja, sehingga diperlukan
perspektif yang jelas agar hasilnya
berkualitas. Pendekatan mengarahkan ketingkat penekanan dalam pembahasan. Dalam
penelitian yang bersifat komparatif, kemudian dijumpai hal-hal yang historis, atau
suatu penelitian yang bersifat teoritis, membutuhkan pendekatan kritis.
Pendekatan yang perlu diambil
dalam studi sastra bandingan setidaknya meliputi tiga macam yaitu:
Pertama, sastra bandingan
folkoristik. Sastra bandingan ini lebih terkait dengan kisah-kisah, dongeng,
dan sejumlah tradisi lisan. Sastra lisan juga dapat diambil dari ritual dan
tradisi lisan lainnya yang memiliki varian kesamaan. Bandingan juga menekankan
bagaimana persebaran(difusi) ceritanya. Studi bandingan cenderung menuju ke
arah migrasi atau transmisi cerita dari waktu ke waktu dan dari wilayah ke
wilayah. Dalam konteks ini, hadirnya TKI keberbagai negara, transmigrasi, serta
wisata dalam jangka tertentu, sering menyebarluaska sastra lisan. Bandingan
demikian dianut oleh folkloris dan orang yang bergerak pada tradisi lisan, yang
di Indonesia dipelopori oleh James Danandjaya, kemudian muncul nama-nama
Suripan Sadi Hutomo, Pudentia MPSS, Ayu Sutarta, dan Setya Yuwana Sudikan yang
membandingkan folklor sebagai aset tradisi lisan.
Kedua, sastra bandingan komparatif,
yakni upaya membandingkan dua karya sastra atau lebih dari suatu negara dengan
negara lain. Bagaimana reputasi pengarang juga dapat terlihat dari bandingan
ini. Pasangan surut reputasi pengarang dapat ditunjukan oleh sastra bandingan.
Dalam konteks ini, sastra terjemahan seakan-akan menjadi “ladang basah” bagi
kiprah sastra bandingan. Adanya ekspor dan import buku-buku sastra amat
menyuburkan studi sastra bandingan. Dari sini pula muncul ciri khas, aliran,
dan gaya pengarang tertentu dan wilayah tertentu.
Ketiga, sastra bandingan
supratekstual, yaitu sastra bandingan dalam kerangka menurut sastra dalam
kaitannya dengan fenomena lain. Fokus bandingan adalah hal ikhwal yang berada
pada tataran“spratekstual”, diatas teks, atau bahkan dibalik teks itu sendiri.
Meskipun demikian sastra bandingan jenis ini tetap menggunakan kerangka ilmu
sastra. Teori sastra, seperti metafora, naratologi, semiotik, dan estetika
tetap diperlukan. Namun sorotan sastra cenderung tertuju pada aspek-aspek di
luar sastra, seperti agama, kejiwaan, politik, ekonomi. Dalam konteks ini,para
pemerhati antropologi seperti PM Laksono terkadang secara tidak langsung ikut
terjun dan mempelajari bandingan mitos Key dan Jawa.
Ketiga pendekatan tersebut akan
melahirkan model-model penelitian sastra bandingan. Model adalah suatu bentuk
perumpamaan yang memudahkan peneliti sastra
bandingan membaca data secara lengkap.
Sebuah model dapat ditemukan
dalam pernyataan yang bersifat mengumpakan. Dalam buku-buku atau artikel
tentang teori sastra sering terdapat berbagai istilah, seperti intratekstual,
intertekstual, kontekstual dan struturalisme dinamik. Berbagai ragam teori
sastra itu sebenarnya adalah model pemahaman sastra. Maka sastra bandinganpun
dapat memilih salah satu model yang
tepat sejalan dengan fenomena teks yang dibandingkan.
Model diperoleh setelah
peneliti membandingkan sastra secara intensif. Oleh karena itu data sastra
bandingan amat kompleks, maka perlu membangun model dalam bentuk diagram,
garis, skema, dan sejenisnya. Model merupakan komponen kedua yang terpenting
setelah asumsi dasar, karena model merupakan perumpamaan, analogi, kiasan
tentang gejala yang dipelajari, sehingga seringkali model juga menjadi seperti
asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah asumsi dasar. Model penelitian sastra
bandingan merupakan skema yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Model ini
merupakan perumpamaan tentang gejala yang dipelajari dan menjadi pembimbing seseorang peneliti
sastra banding dalam mempelajari gejala tersebut. Model berupa kata (uraian) atau gambar,
namun umumnya brupa uraian. Berbeda halnya dengan model pembantu yang selain
umumnya berupa gambar,model juga biasa digunakan untuk memudahkan menjelas-kan
hasil analisis atau teorinya. Melalui model komunikasi hasil sastra bandingan
mudah terbaca oleh orang lain. Model ini bisa berupa diagram,skema,bagan atau
sebuah gambar yang akan membuat orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan
oleh seseorang.
Model dibangun atas dasar data analisis
yang matang. Dengan membandingkan sekian banyak karya sastra, berulah peneliti
akan menemukan model. Misalkan saja, model persebaran mitos Dewi Sri, model
humor kancil, model kisah romantik,model horor,dan sebagainya. Model itu
semacam garis besar,berupa diagram atau gambaran selintas tetapi memuat
keutuhan wilayah penelitian. Setiap orang bisa menampilkan model, namun logis
dan bermakna. Model merupakan bagian abstraksi dari hasil analisis sastra
banding. Model akan mewakili pola pikir seseorang dan bahkan juga sekelompok
orang. Bangunan model menjadi jembatan
pemahaman total terhadap karya sastra agar pola-polanya jelas.
F.
Tahap-tahap Analisis Sastra Banding
Analisis
sastra banding memerlukan ketelitian yang jernih. Adapun hal yang dibutuhkan
ketika menganalisis adalah konstruksi analisis harus jelas,tegas,dan mengarah
ke sastra bandingan. Analisis
selalu menuju pada penemuan relasi antara dua karya atau lebih antara karya
sastra dengan aspek lain.kesejajaran menjadi tumpuan analisis.
Analisis menjadi
inti suatu penelitian. Kegagalan analisis berarti juga kegagalan
penelitian.dalam konteks ini, Jost (1974:37) menawarkan metode analisis yang disebut
genetik atau poligenetik. Analisis
yang menurut kesejarahan atau asal usul karya sastra serta hubungan sebab
akibat. Perunutan proses pengaruh-mengaruhi pada dua karya sastra tentu tidak
mudah, kecuali dilakukan dengan tafsir dan analogi kritis. Analisi-analisis
genetik dapat dilakukan secara emik dan etik. Analisis secara emik adalah
analisis berdasarkan data tanpa menghiraukan teori yang digenggamnya. Hasil
analisis berupa simpulan data yang “bermain”. adapun analisis secara etik
adalah analisis yang membangun kerangka berpikir hingga ada rumusan jelas
mengenai apa yang hendak dilacak. Bertolak pada gagasan Francois Jost, analisis
sastra bandingan seyogyanya memusatkan
perhatian pada interaksi dan kemiripan dua
karya sastra atau lebih pada sastra nasional ,karya pengarang, fungsi
khusus dalam proses transmisi, yang dilihat dari segi teknik dan doktrin
sastra. Berdasarkan hal ini, selanjutnya peneliti memisahkan menjadi
bagian-bagian kecil, meliputi (1) source(sumber)
yang digunakan pengarang, sumber yang memberi inspirasi, misalnya berupa buku
atau sumberlain yang dijadikan dasar
penulisan;(2) fortune (kesuksesan),
yaitu respon yang dicapai oleh pengarang tertentu;(3)image atau mirage, yakni
gagasan yang mengenai hal-hal tertentu yang dimiliki oleh setiap bangsa.
Analisis sastra banding membutuhkan kejelian dalam hal konteks, teks, ruh sastra, teori sastra, kesejarahan dan
sebagainya.
Pada bagian lain
Francois Jost (dalam rahman, 2000:6-7) mengemukakan empat hal jurus tahap analisis
sastra bandingan, yaitu:
( 1) Mencermati
karya sastra satu dengan lainya menelusuri pengaruh karya sastra satu dengan
yang lainya, termasuk
disini adalah interdisipliner sastra bandingan, seperti sosiologi, filsafat,
psikologi;
( 2) Kategori
yang mengkaji tema karya sastra.
( 3) Kategori
yang menganalisis gerakan atau kecendrungan yang menandai suatu pradaban, misalnya realisme dan renaissance,serta
( 4) Analisis
bandingan antara genre satu dengan genre yang lain.
Analisis
sastra bandingan memang sulit dilepas dari aspek pengaruh. Paling tidak ada
enam jenis pengaruh yang terdapat dalam karya sastra, yaitu pinjaman
langsung, pengaruh
budaya asal, sastra dalam pengasingan, pengaruh negtif yang berupa penolakan
pengarang terhadap ide tertentu yang datang dari budaya lain, keberuntungan
pengarang yang memengaruhi pengarang lain, dan penghianatan kreatif para
penerjemah dan editor. Sebenarnya keenam pengaruh tersebut masih bisa di tambah dengan
plagiarisme, epigonistis, dan pelesapan halus. Ketiga hal yang disebut terakhir
membedakan mana karya yang jujur, mana karya
yang kreatif, dan mana karya yang “kotor”. Tugas analisis sastra
bandingan adalah menemukan berbagai jenis pengaruh dan tidak mengambil
kesimpulan yang menyesatkan. Pada
saat peneliti telah menemukan berbagai unsur pengaruh dalam suatu karya sastra,
orisinalitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode analogi. Hubungan
asosiatif antar karya.
Sastra
bandingan memang tidak harus membandingkan lembar perlembar, kata per kata,
melainkan hanya perlu menghubungkan keseluruhan karya dan penekanan hal-hal
penting dengan kaidah bandingan. Penilaian okjektif dan subjektif digunakan
sekaligus agar
memproleh interpretasi yang
meyakinkan. Tidak satupun kriteria khusus diletakan ke atas peneliti,kecuali
teori yang pernah dikuasai sebelumnya.
Analisis
menjadi ujung tombak keberhasilan penelitian. Analisis yang gagal tanpa
menemukan sesuatu yang signifikan, sastra bandingan seperti memasuki ruang
kosong. Hampa! Dalam bahasa sederhana, penulis sepakat dengan pemikiran
analisis Guyard (Madiyant, 1996:16-20) bahwa analisis sastra bandingan perlu
mengambil jarak baik terkait kebahasaan maupun kebangsaan. Tugas utama analisis
sastra bandingan adalah meliputi analisis pertukaran tema,ide,buku,atau
pengalaman batin di antaranya
dua karya. Syarat
dasar seorang analisis sastra bandingan sebagai berikut:
Ø Seorang
yang paham sejarah sastra, sekalipun tidak berarti seorang sejarahwan. Culture history
memang penting sebagai pegangan analisis, namun pengetahuan kritik sastra juga
tidak boleh diabaikan.
Ø Penguasaan
dan kepekaan mengnai dinamika sastra dan
pertalian aantara sastra dalam deretan kreativitas.
Ø Perlu
membaca karya dalam bahasa aslinya, baru menurut terjemahan, salinan, saduran, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Disisi
lain, analisis sastra bandingan harus mampu menemukan fenomena orisinalitas dan
atau imitasi dari beberapa karya yang dibandingkan. Fokus analisis selalu
dikaitkan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sikap apriori dalam
analisis sebaiknya dihindarkan, sebaliknya analisis dilakukan secara mendalam
agar mampu menemukan hipogram, tradisi, dan afinitas yang memadai.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dalam penelitian sastra bandingan, ada beberapa
metode yang harus diperhatikan antara lain: Perspektif dalam sastra bandingan,
subjek dan objek sastra bandingan, persyaratan objek dan subjek sastra
bandingan, pengumpulan data, pendekatan studi sastra bandingan, tahap-tahap
analisis sastra bandingan.
Perspektif
adalah sudut pandang. Perspektif penelitian sastra bandingan terkait dengan
sudut pandang apa saja yang digunakan dalam bandingan. Perspektif ini akan
menentukan sejumlah paradigma penelitian secara menyeluruh. Perspektif dapat
pula disebut sifat dan atau arah studi sastra bandingan. Sastra bandingan
memuat empat perspektif, yakni:
Penelitian yang berperspektif komperatif, Penelitian yang berperspektif historis, Penelitian yang berperspektif
teoritis, dan Penelitian yang berperspektif antardisiplin.
Yang
dimaksud dengan objek adalah “bahan
penelitian” yang menjadi fokus sastra bandingan. Objek berkaitan dengan
muatan apa yang terdapat dalam sastra, yang dominan dan layak dibandingkan.
Persoalan objek sastra bandingan dapat terkait dengan tema, tokoh, aspek
sosial, kecerdasan emosi, dan sebagainya. Sastra bandingan merupakan salah satu
ranah studi sastra yang memerlukan objek khusus. Objek ini perlu dipilih atau
diseleksi agar penelitian berjalan dengan maksimal. Dan sama halnya dengan
metode pengumpulan data pada penelitian objek yang lain.
Tidak
pernah terbayangkan bahwa tidak semua karya sastra dapat dibandingkan secara
acak. Sastra bandingan seharusnya
tidak sembarang, melainkan perlu menemukan diantara dua karya atau lebih yang
memiliki ciri-ciri kemiripan yang dinamakan varian. Ada tiga syarat utama dalam
sastra bandingan, yakni:
1)
Varian bahasa,
artinya dua karya yang bahasanya berbeda tetapi memiliki varian tema, latar,
tokoh, atau pesan yang lain
2)
Varian wilayah,
artinya dua karya atau lebih dari daerah berbeda namun memiliki varian,
misalnya ideologi, kultural, judul, dan sebagainya.
3)
Varian politik,
artinya dua karya atau lebih melukiskan kekuasaan yang berbeda.
Cara
untuk pengumpulan data sastra bandingan memang tidak jauh
berbeda dengan penelitian sastra pada umumnya. Hanya saja, sastra bandingan
membutuhkan tahap-tahap yang lebih taktis. Salah langkah dalam pengumpulan
data, hasil penelitian akan sia-sia. Pembacaan harus terus menerus dilakukan sehingga
memperoleh data akurat. Oleh karena itu langkah pengumpulan data perlu
dicermati agar menemukan data yang sahih dan valid. Belum tentu seluruh unsur
teks menjadi data sastra bandingan, sehingga unsur-unsur yang tidak relevan
dapat dianulir atau disingkirkan. Data sastra bandingan perlu pula disertai
upaya “merelevansikan” teks satu dengan yang lainnya. Akurasi data didukung
oleh penguasaan teori sastra, kririk sastra, sejarah sastra, dan hubungan
interdisipliner sastra. Peneliti dapat merumuskan langkah-langkah berhadapan
dengan objek penelitian. Ketika objek penelitian sudah dapat dipastikan
memiliki varian, baru mulai menerapkan langkah: menyejajarkan unsur kata yang ada kemiripan tulisan dan bunyi,
menyejajarkan unsur yang memiliki
konteks yang sama.
Sastra
bandingan tidak hanya besifat membandingkan karya-karya sastra saja, sehingga
diperlukan perspektif yang jelas agar
hasilnya berkualitas. Pendekatan mengarahkan ketingkat penekanan dalam
pembahasan. Dalam penelitian yang bersifat komparatif, kemudian dijumpai
hal-hal yang historis, atau suatu penelitian yang bersifat teoritis,
membutuhkan pendekatan kritis. Pendekatan yang perlu diambil dalam studi sastra
bandingan setidaknya meliputi tiga macam yaitu: Pertama, sastra bandingan folkkoristik, Kedua, sastra bandingan
komparatif, Ketiga, sastra bandingan
supratekstual.
Analisis sastra
banding memerlukan ketelitian yang jernih. Adapun hal yang dibutuhkan ketika
menganalisis adalah konstruksi analisis harus jelas,tegas,dan mengarah ke
sastra bandingan. Analisir selalu menuju pada penemuan relasi antara dua karya
atau lebih antara karya sastra dengan aspek lain.kesejajaran menjadi tumpuan
analisis.