Friday, April 1, 2016

Makalah Sosiologi Sastra (Penelitian Sosiologi Sastra)


 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
       Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
       Sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi­segi sosial. Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitianpenelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek­aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja kajian teori dalam peneltian sosiologi sastra ?
2.      Apa yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian sosiologi sastra ?
3.      Apa yang terdapat dalam metode penelitian sosiologi sastra ?

C.    Tujuan
     Mengetahui serta memahami konsep penelitian sosiologi sastra dan metode dalam peneltian sosiologi sastra





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kajian Teori Sosiologi Sastra
a.         Teori Sosio-Fungsionalisme Struktural
          Teori fungsionalisme, semula memang berakar dari pemikiran antropologi. Dalam antropologi, dikenal teori fungsi budaya. Budaya itu merupakan karya yang hidup dan berfungsi bagi manusia. Teori sosio-fungsionalisme pun demikian ruhnya. Asumsi dasar dari teori ini, didorong oleh suatu anggapan bahwa sastra lahir untuk memenuhi sebagian kebutuhan manusia.
          Fungsionalisme tidak lepas dari kehidupan manusia. Munculnya fungsionalisme jelas ada kaitannya dengan kebutuhan hidup. fungsionalisme yang terkait dengan aspek sosial, disebut sosio-fungsionalisme. Sastra dalam kontek fungsionalisme juga memuat pesan sosial. Paul johnson (faruk, 1999:107) menyebut istilah fungsionalisme sebagai pendekatan kajian. Pendekatan itu terdiri dari dua, yaitu 1.pendekatan etik dan 2. Pendekatan emik. Pengkajian sosiologi sastra dapat menggunakan dua pendekatan tersebut, tergantung sasarannya. Adapun fungsionalisme, cenderung saya sebut sebagai teori kajian. Dasar teori fungsionalisme, menurut hemat saya, sastra itu akan bermakna apabila memenuhi fungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
          Jika Johnson menyebut bahwa persoalan dasar yang dibahas dalam fungsional adalah persoalan apa yang membuat masyarakat itu bersatu, bagaimana dasar atau landasan keteraturan sosial itu dipertahankan, dan bagaimana tindakan-tindakan individu itu menyumbang pada masyarakat itu secara keseluruhan baik secara disadari ataupun tidak, maksudnya, fungsi itu tampak bermakna apabila dikaitkan dengan struktur. Dengan persoalan dasar yang demikian, pendekatan fungsional berusaha mempelajari pelembagaan-pelembagaan sosial yang ada dalam masyarakat dan yang saling berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu integrasi sosial. Menurut pendekatan fungsional Parsons, sastra merupakan tindak komunikasi katektik, suatu tindakan ekspresif, yang berorientasi pada pemuasan kebutuhan secara langsung, tidak instrumental ataupun evaluatif.

b.         Kajian Sosio-fenomenologis
          Fenomena sosial dalam sastra selalu menyajikan hal-hal yang unik, dari sisi sosiologi sastra, dan sejumlah khasus yang dapat dikaji dari aspek-aspek sosio-fenomenologi. Teori kajian sosio-fenomenologi yaitu suatu wilayah yang memahami karya sastra dari kacamata fenomena sosial. Fenomena ini dideskripsikan apa adanya, menurut pandangan pemilik sastra.
          Sosio-fenomenologi adalah kajian sastra yang menitik beratkan pada aspek mana. Makna sastra dari sisi sosial, dikaitkan dengan tempat kelahiran karya itu secara mendalam. Untuk dapat melakukan hal itu pendekatan yang diambil adalah pendekatan verstehen meskipun didalamnya tidak tertutup kemungkinan untuk menerima pendekatan yang bersifat behavioristik positivfistik. Istilah pendekatan ini, memang kurang tepat yang lebih tepat adalah persepektif. Pendekatan ini bekerja melalui pemahaman fenomenologis mengenai individu dalam situasi sosialnya, pemahaman mengenai pola-pola manka yang membangun realitasnya, dan pemahaman mengenai definisinya terhadap situasi yang didalamnya individu itu bertindak dan berinteraksi satu sama lain.
          Sosiologi seni yang fenomenologis tidak dapat di reduksi atau menjadi tergantung pada linguistik. Fenomenologi pikiran bekerja pada level yang lebih dalam dari pada studi empirik bahasa. Adalah benar, bahwa suatu analisis fenomenologis mengenai konstitusi genetik kesadaran akan mengacu pada peranan bahasa pada di dalamnya. Namun, analisis sinkronik mengenai realitas sehari-hari dari pikiran tidak perlu mengacu kepada bahasa, melainkan pada biografi eksperential subjek yang bersangkutan.
          Langkah berikutnya dari sosiologi seni fenemenologi bergerak kearah gambaran kesadaran kolektif dan menifestasinya dalam berbagai lingkungan kehidupan. Dalam hal ini sosiologi tersebut harus menolak sekaligus formalisme Levi Strauss dan reduksinya terhadap persoalan menyeluruh diatas menjadi hanya prinsip oposisi berpasangan (binaly oposition) dengan tranformasinya yang terlampau sederhana dan fundamental. Didalam sosiologi sini fenomenologis diperlukan sesuatu yang lebih konkrit dalam setiap kasus, suatu konsep pandangan ilmiah, yang lebih kaya dan sugestif lebih jauh lagi, diperlukan pula metode penelitian mengenai unit-unit analisis yang pada gilirannya mungkin berhubungan dengan elemen-elemen dari struktur yang mendasarinya.
          Meskipun demikian, dari segi sosiologi dan seni fenomenologi, teori Gold Mann itu memperlihatkan pula beberapa kelemahan. Berbeda dengan Gold Menn yang cenderung merekduksi keanggotaan sosial individu hanya pada satu pengelompokan sosial tertentu, sosiologi fenemenologis harus menempatkannya dalam konteks berbagai macam pengelompokkan sosial yang ada, rasial, ekonomik, profesional, ideologis, dan sebagainya. Hal itu berarti bahwa sosiologi fenomenologis dihadapkan dengan pilihan yang bermula baik dari karya penulis individual, menghubungkan dengan situasi sosial yang kompleks, posisisnya dalam sejumlah kelompok, atau mengelaborasi teori makro mengenai masyarakat dan kesusastraan yang cukup canggih untuk menginkoporasikan keanekaragaman suatu masyarakat.
          Menurut Wolff, kelemahan teori Parson di atas dalam rangka sosiologi seni fenomenologis adalah kurangnya perhatian kepada makna. Yang digarap bukan makna eksistensial individu dalam masyarakat, melainkan abstraksi- abstraksi formal yang digeneralisasi, abstraksi- abstraksi yang secara longgar berkaitan dengan analisis verstehen Weber. Makna dalam pengertian fenomenologis bukanlah kumpulan gagasan-gagasan, simbol-simbol orientasi-orientasi yang terpecah dan secara genetik  yang berhubungan, melainkan lebih merupakan suatu totalitas. Akan tetapi, teori fenomenologis sendiri cenderung mengabaikan perspektif historis dari suatu tindakan dan konteks struktural dari tindakan yang bermakna. Oleh karena itu, teori Hermeneutik menjadi penting karena salah satu pernyataannya adalah bahwa teori itu berusaha untuk mempertahankan intuisi fenomenologis dan pada saat yang sama memahami masyarakat dan sejarah dalam perspektif yang lebih luas.

              c.       Teori Sosio-Hermeneutik
             Sosio-Hermeneutik adalah ilmu tafsir sastra yang dikaitkan dengan aspek sosial. Aspek       sosial tersebut menyangkut berbagai unsur di luar dan di dalam diri manusia (Endraswara, 1989:4). Hermeneutik menawarkan dua metode untuk memahami makna objek, yaitu metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa penafsir untuk bermula dengan memahami tempat kesadarannya sendiri dalam konteks historiko-kultural.

             d.      Teori Sosio-Ideologis
            Teori ideologis Bakhtin (Fakruk, 1999:12-130) ini sesungguhnya dapat dimasukkan ke dalam tradisi marxis sebab memang berangkat darinya. Sebagaimana teori-teori dari tradisi marxis, Bakhtin menganggap studi sastra sebagai studi superstruktur, studi ideologis, yang dipertentangkandengan studi struktur dasar, studi sistem produksi ekonomik yang bersifat material. Menurut Bakhtin, para ahli tradisi marxis cenderung mengabaikan kesatuan konkret, variasi, dan pentingnya lingkungan ideologis itu, dan bergerak terlalu cepat dan langsung dari fenomena ideologis ke kondisi-kondisilingkungan sosio-ekonomik.   



             B.     Ruang Lingkup Penelitian Sosiologi Sastra
a.      Mendalami Interaksi Sosial
Ruang lingkup sosiologi sastra tidak lepas dari interaksi sosial. Sosiologi sastra adalah perspektif ilmu sastra interdisipliner, untuk mendalami interaksi sosial. Interaksi sosial dalam sastra penuh simbol. Damono (2002:2) berpendapat bahwa sosiologi sastra itu suatu pendekatan, mungkin juga tidak terlalu salah. Sosiologi sastra adalah pendekatan yang mempertimbangkan aspek kemasyarakatan dalam sastra.  Sastra adalah fenomena sosial yang memiliki akar kuat di tanah kelahiran sastra.
     Sosiologi sastra adalah ilmu sosial sastra yang menelusuri manusia dari aspek sosial. Lebih jauh lagi, ada satu tingkatan yang mempelajari dan memahami manusia lewat kenyataan empiris. Gagasan empirik sastra ini yang melahirkan sosiologi sastra eksperimen.
     Dua kategori yang krusial tentang pengetahuan manusia, yaitu (1) struktur dan (2) fungsi.  Struktur adalah suasana pembentuk fenomena, hingga terjadi interaksi antar unsur. Fungsi adalah bagaimana cara seseorang mendapatkan keseimbangan yang lebih baik dalam sebuah struktur. Jika struktur dan fungsi itu disatukan, membentuk kepaduan struktural fungsional, maka manusia akan sejahtera.
     Sosiologi sastra akan menelusuri fakta hidup manusia melalui dua kutub: (a) ketaksadaran hidup dan (b) kesadaran hidup manusia, yang melahirkan interaksi sosial. Kunci pokok sosiologi sastra adalah mencoba hubungkan fakta-fakta itu sebagai sebuah interaksi sosial yang padu. Penelitian sosiologi sastra juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek (a) keindahan, (b) historis, dan (c) sosiologis secara utuh.
    



b.      Memahami Konteks Sosial
Wilayah (ruang lingkup) penelitian sosiologi sastra biasanya bersangkutan dengan teks dan non teks. Yang dimaksud dengan teks, adalah karya sastra tertulis, seperti cerpen novel, cerbung, dan sebagainya. Karya non teks, berupa komentar, pendapat, gagasan hasil resepsi seseorang terhadap karya sastra. Kemajuan pengetahuan sosiologis sangat jauh, hingga apresiasi sosiologis dari teks tunggal terlalu sering hanya menjelaskan konten mereka dalam hal sosial.
Orientasi penelitian sosiologi sastra yang paling utama adalah menemukan konteks sosial. Seperti, dengan banyak subjek, sebuah divisi cenderung merusak kerja untuk memisahkan mereka sehingga penelitian berkonsentrasi pada konteks sosial atau pada teks sastra dan makna sosialnya.
Tugas peneliti sosiologi sastra, yaitu: (1) menemukan konteks sosial yang mengitari karya sastra, (2) menemukan hubungan status sosial penulis dengan nilai-nilai estetis struktur teks, (3) menemukan konteks ekonomi yang mempengaruhi kehadiran karya sastra, (4) menemukan relasi teks-teks sastra realism hingga modern. Sastrawan akan membangun konteks sosial baru lewat imajinasi. Konteks sosial itu sesungguhnya sebuah ruang penting. Peneliti akan memasuki ruang-ruang untuk memaknai konteks.
Batas-batas konteks sosial memang kabur. Konteks sosial  dapat berhubungan dengan: (a) etika, (b) hukum, (c) budaya, (d) ekonomi, (e) politik, (f) agama, dan sebagainya.

c.       Sosiopsikologi Sastra
Sosiopsikologis adalah ruang lingkup penelitian sosial sastra. sosiopsikologi berusaha menggabungkan aspek psikologi dan sosiologi. Swingewood (1971) juga mengisyaratkan hadirnya penelitian sosiopsikologi sastra, biarpun hal itu tersamar.  Sosiopsikologi akan lebih mewadahi muatan sastra secara komprehensif.
Sejarah psikologis penulis, yaitu sebagai fenomena individu yang aneh. Ini bukan untuk menyangkal peristiwa-peristiwa tertentu dalam sosialisasi penulis,seperti pengalaman Dicken, bahwa manusia akan mengekspresikan diri dalam karya seorang penulis, melalui pilihan karakternya, plot, penggunaan simbol-simbol, metafora, dll, tapi ini bukan untuk menggantikan rasa dan pemahaman sastra dalam hal struktur sosial, saran, kemudian nilai-nilai. Unsur batin karya sastra jelas merupakan cetusan psikis sastrawan. Sungguh luar biasa sastrawan memoles karyanya dengan endapan pengalaman batin. Bahkan ada kalanya sastrawan itu tergolong “orang gila”, yang tanpa sadar menelorkan ide-ide cemerlang. Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra sebab objeknya sama, yaitu menifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat, sebagai transindividual, objek psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi psike.
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran personal.
Prinsip-prinsip psikologi dimanfaatkan dalam analisis karya sastra melalui tiga cara, yaitu: (a) melalui pengarang, (b) melalui semestaan tokoh-tokoh, dan (c) melalui citra arketipe. Cara yang pertama disebut kritik ekspresif sebab melukiskan eksistensi subjek kreator sebagai subjek individual, khususnya kaitkan antara sikap pengarang dengankarya yang di hasilkannya.  Cara yang kedua disebut sebagai kritik objektif, dengan memusatkan perhatian pada psikologi tokoh-tokoh, khususnya manifestasi karakterisasi sebagai representrasi karakterologi. Cara yang ketiga disebut kritik arketipe sebab analisis dipusatkan pada genesis psikologis, khususnya mengenai eksistensi ketaksadaran kolektif.
Sebagai mitos (Frye, 1973: 95-128), citra arketipe mengevokasi gudang memori masa lampau sekaligus mengantisipasi stagnasi proses kreatif, kemudian menampilkannya dalam struktur karya, bahkan sebagai pandangan dunia.
Dalam mengevokasi sistem, simbol, psikologi sastra pada umumnya menampilkan kualitas psike secara individual, identifikasi fakta-fakta yang tidak mungkin dilakukan dalam paradigma sosiologi sastra.  Fakta-fakta psikologi seolah-olah tak terpisahkan dengan pribadi, sedangkan fakta-fakta sosial,  sebagaimana dijelaskan melalui proposisi. Durkheimian, berada di luar kesadaran individu, sebagai data yang nyata, sehingga lebih mudah untuk berkembang.
Menurut Wellek dan Warren (ibid), baik psikologi sastra maupun sosiologi sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam analisis, yaitu: (a) analisis pengarang sebagai pencipta, (b) analisis karya sastra itu sendiri, dan (c) analisis pembaca. Analisis psikologi cenderung memandang subjek kreator sebagai individu yang berbeda, memiliki keistimewaan, keunikan, dan kejeniusan. Kemampuannya terletak dalam mengkomplikasikan dan menyeleksi fakta sosial, proses kreatif memiliki kesejajaran dengan interaksi sosial yang lain.
Secara definitif intensitas sosiologi sastra adalah karya sebagai manifestasi interaksi sosial, sedangkan intensitas psikologi sastra adalah karya sebagai manifestasi struktur psikologis. Hauser (1985: 119), pada dasarnya menolak relevansi psikologi dalam studi sosiologi sastra, dengan mengatakan bahwa aspek-aspek psikologi bermanfaat dalam sosiologi sastra apabila memiliki kualitashistoris dan berhubungan dengan kemanusiaan secara keseluruhan. Dengan kalimat lain, aspek-aspek psikologi yang bermanfaat analisis sosiologi sastra adalah aspek-aspek psikologi sosial.
Dalam penelitian sosiopsokologis ini, tumpuan utama tetap sastra sebagai pantulan kehidupan sosial. Oleh sebab itu sosiopsikologis memang lebih tepat untuk menyelami keindahan karya sastra.

d.      Resepsi Sosial Sastra
Resepsi sosial sastra merupakan penelitian tanggapan audien terhadap sastra. resepsi masyarakat terhadap sastra sering berbeda-beda. Resepsi sosial sastra justru memiliki nilai pragmatik sastra yang penting. Halini menuntut tingkat keterampilan tinggi, untuk melacak cara-cara di mana sebuah karya sastra adalah benar-benar diterima oleh masyarakat tertentupada suatu saat historis tertentu. Dalam fenomena empiris, sastra memang dikemas untuk mempengaruhi pembaca. Itulah sebabnya, karya sastra perlu dipelajari dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Ketika, peneliti hendak melacak resepsi kolektif terhadap karya sastra.
Resepsi sosiologi akan menaikan harga karya sastra. Contoh, resepsi sastra Guy de Maupassant di Inggris selama 1880s dan 1890s membantu efek trasisi dari sastra Inggris ditembus oleh seorang seksualitas natif atau miring ke sudut pandang dunia modern. Resepsi sastra penglipur wuyung di Indonesia tahun 1970-an, juga telah mengajak pembaca berpikir romantik terhadapdunia. Persoalan seks menjadi tumpuan masyarakat di jagad roman penglipur wuyung. Kriteria spesifik nampak di sini bahwa resepsi sastra merupakan bentuk kegigihan terhadap sastra besar terus bertahan.




C.    Metode Penelitian Sosiologi Sastra
a.       Perspektif  Penelitian
1.      Perspektif Sosiologis
                 Perspektif adalah sudut pandang. Perspektif sejajar dengan pendekatan atau kacamata. Kalau pendekatan banyak mewarnai pola pemikiran epistimologis, perspektif lebih kearah pemikiran metodologis, pendekatan merupakan cara pandang. Secara epistimologis umumnya, orang mengenal dua pendekatan penelitian sastra, yaitu (1) pendekatan etik dan (2) pendekatan emik. Pendekatan etik lebih kearah positivistic, membangun teori terlebih dahulu, menciptakan konstruk, yang ditaati terus, hingga memperoleh kesimpulan. Pendekatan etik sosiologi sastra, banyak memuat perspektif (a) hermeneutic (interpretative), (b) semiotic, (c) structural genetic, dan sebagainya. Adapun pendekatan emik, lebih lentur memuat berbagai perspektif yaitu (a) perspektif naturalistic, (b) sosiologis, (c) antropologis, dan (d) fenomenologis.
                 Perspektif penelitian sosiologis yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagi perspektif yang masing masing didasarkan pada pandangan teoritis tertentu. Perpektif penelitian sosiologi sastra para kritikus Rusia pengikut garis Lenin berlainan dengan yang di terapkan oleh kelompok penulis Prancis yang meyakini gagasan tentang literature engage. Penelitian kedua Negara itu juga berbeda dengan yang di peraktikan oleh pemerintahan komunis Cina di tahun 50-an atau yang dikerjakan oleh beberapa ahli sosiologi sastra Amerika Serikat. Namun, semua perspektif tersebut menunjukan satu kesamaan perhatian terhadap sastra sebagai refleksi social, yang dicitakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Kecenderungan itu yaitu (1) penelitian kearah penelusuran makna sosiologis teks-teks dan (2) studi keberterimaan teks sastra bagi suatu kelompok.
Sosiologi sastra, adalah suatu “disiplin” peneletian sastra yang boleh dikatan masih muda. Sosiologi sastra adalah perspektif pemahaman sastra dari aspek social. Di dunia antropologi ada perspektif teoritik, yaitu (1) fungsionalisme structural, (2) fenomenologis, (3) hermeneutic teks. Menurut Damono (2002:2-3) ada dua corak perpektif penelitian sastra sosiologis, yaitu : (1) sastra merupakan sebuah cermin proses social ekonomi belaka. Penelitian ini bergerak dari factor luar sastra untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berharga jika berkaitan dengan unsure dari luar sastra. Karya sastra adalah gejala kedua, (2) mengutamakan teks sastra sebagi bahan penelitian. Penelitian diarahkan pada teks untuk untuk menguraikan strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami gejala social.
Kermode (Elizabeth dab Burns, 1973:214-217) menyatakan bahwa karya penyair (atau novelis) jelas mengajak kita merasakan kehidupan kita. Sastra dipandang mampu menangkap rasa social suatu bangsa. Dengan demikian, novel dapat berubah fungsi dari genre sastra menjadi sebuah bentuk seni yang mengungkapkan kebenaran. Novelis sering mencoba mengungkapkan gangguan penting dalam individu dan masyarakat. Novelis sering mencoba mengekspresikan hal-hal nyata dan tidak masuk akal, untuk membuat sebuah fiksi kehidupan manusia. Begitulah contoh wawasan perspektif sosiologis, yang tetap mempetimbangkan aspek aspek individu manusia. Refleksi individu sering mendompleng pada getaran social. Penelitian sosiologi sastra perlu memperhatikan : (a) aspek sastra dan social yang berimbang dan (b) penelitian perlu memperhatikan aspek individu dan masyarakat secara berimbang. Jadi, perspektif sosiologi sastra itu selalu tidak pernah cuci tangan dengan perspektif lain.


2.      Perspektif Genetika
Goldman (1980) pada konferensi tentang sastra dan masyarakat di Brussels pada 1964 memberikan tesis yang berasal dari catatan Girard tentang drama “ the divine comedy”. Goldman selalu menekankan aspek kesejarahan teks dalam studi sosiologi sastra yang disebut strukturalisme genetic. Konsep strukturalisme genetic dimaksudkan untuk memahami proses memahami dunia dimana mereka tinggal. Proses ini adalah salah satu dimana penelitian terhadap individu menyusun peristiwa, keadaan, aspirasi untuk masa depan masyarakat, dan kekhasan struktur social. Struktur genetika teks, adalah wilayah perspektif historis, yang menurut kelahiran sastra, terikat dengan struktur pembangun sastra. Sastra dan sosiologi tidak tampak berbeda, namun sebaliknya, saling melengkapi, yaitu dalam pemahaman kita tentang masyarakat, secara historis mereka cenderung tetap terpisah. Sastra jelas fakta imajinatif yang bernuansa psikis. Sastra di ekspresikan dengan daya tangkap imajiner, penuh emosi, dan dorongan jiwa.
     Secara garis besar, ada perspektif sosiologi sastra, yang paling popular, yaitu : Pertama, perspektif yang mengadopsi aspek dokumenter sastra, mengatakan bahwa sastra tersedia untuk semua kalangan. Filsuf perancis Louis de Bonald (1754-1840) adalah salah satu penulis pertama yang menyatakan bahwa melalui pembacaan yang teliti seseorang tidak bisa mengatakan tentang kesusastraan dalam suatu bangsanya. Maksudnya, tanpa memahami genetika karya, seseorang tidak mampu memahami bangsa ini secara total. Apakah bangsa ini sedang ruwet, berang, mudah tersinggung, patut dilihat cermat lewat genetika yang melatarbelakangi karya sastra. Stendhal, dalam karyanya berjudul Le Rounge et le Noir, menulis novel sebagai cermin perjalanan menurun dari jalan yang tinggi, kadang mencerminkan biru langit, kadang lumpur digenangan air. Ungkapan ini memberikan gambaran bagaimana sebuah karya sastra, kadang menjadi saksi tindakan social yang indah dan sebaliknya juga mendeskrepsikan keburukan. Melalui penelitian sosiologi sastra, dapat mengungkapkan dua hal: (1) keadaan social yang bagus, yang membahagiakan, dan menyenangkan seperti birunya langit dan (2) keadaan social yang benar benar keruh, kotor, seperti halnya lumpur. Penelitian sosiologi sastra ini menengarai pandangan refleksi langsung dari aspek (a) struktur social, (b) hubungan keluarga, (c) konflik social, (d) pertentangan kelas  dan (e) mungkin tren perceraian dan komposisi penduduk.
Kedua, tema penting sastra adalah konflik antara kesadaran sejati penyair, novelis di satu sisi dan praktis dan bayaran perhitungan sepenuhnya didikte oleh pasar industri sastra, disisi lain tarik menarik antara sastra sebai seni dan sastra sebagai perdagangan. Raymond mengatakn struktur perasaan merupakan suatu genetika yang dapat mewarnai seluruh karya. Gagasan Junus (1986:8) bahwa karya sastra selalu dicampur tangan penulis, pikiran dan perasaan sering merasuk, sulit terelakan. Perasaan social sering menjadi genetika sastra. Kiprah perasaan dalam kehidupan social sering mendominasi interaksi sosial. Oleh sebab itu, genetika sastra perlu ditelusuri sejauh mana karya sastra menjadi saksi sejarah kehidupan seseorang.
                                                                         
b.      Cara pengumpulan data
Data berasal dari fakta atau fenomena. Fakta dan fenomena kalau asal dibaca, tidak akan menjadi data yang akurat. Karena itu, pengumpulan data menjadi syarat utama penelitian. Dari cara pengumpulan data menjadi sukses untuk analisis data sosiologis. Data itu dikumpulkan dengan kartu kartu kecil. Cara pengumpulan data penelitian sosiologi sastra tergantung perspektif penelitiannya. Perspektif yang terfokus pada (1) teks, (2) sastrawan , (3) fungsi social, (4) dokumen budaya, (5) struktur genetika, dan lain lain memerlukan kecermatan pengumpulan data. Beberapa cara bisa ditempuh dalam pengumpulan data penelitian sosiologi sastra. Karena fokusnya adalah karya sastra. Sosiologi sastra tidak hanya berfokus penelitian pada teks sebagai benda yang otonom, sumber sumber yang diluar teks sastra itu pun penting. Cara untuk memproleh data antara lain : (1) melalui pembacaan heuristic, artinya hati-hati, tajam terpecaya, menafsirkan sesuai konteks sosial, (2) melalui pembacaan hermeneutik, artinya penelitian mencoba menafsirkan terus menerus, sesuai bahasa simbol sosial, dikaitkan dengan konteks historis, (3) wawancara mendalam, ketika hendak meneliti resepsi sastra cultural dalam lingkup yang sempit, serta sosiologi sastrawan, (4) kuesioner, yaitu mengedarkan daftar pertanyaan, terutama terkait dengan resepsi sastra dalam jumlah responden besar, (5) pengamatan adalah beberapa saja dari cara cara yang bisa di tempuh, untuk mencermati sosiologi pengarang, terkait dengan proses kreasi, pengaruh sastra terhadap perkembangan politik dan sebagainya. Kandungan social dalam sastra ada kalanya tidak lepas dari masalah agama, budaya, ekonomi, politik, dan iklim lingkungan.
Tugas peneliti sosiologi sastra adalah menemukan gagasan penting dalam karya sastra sebagai bagian dalam kehidupan social.  Sangidu (2007:26-29) ketika pengumpulan data perlu menemukan apa yang menjadi dorongan lahirnya sifat sifat masyarakat dan memperhatikan mengapa karya sastra memiliki kemampuan mengubah reepsi masyarakat dan juga memahami bahwa sastra tidak mungkin ada manakala kehidupan social tidak ada. Dua manfaat dari pengumpulan data adalah yang paling bersemangat dari penelitian sosiologi sastra adalah cara melihat sastra mengacu pada masyarakat sehingga memungkinkan untuk menganggapnya sebagai bukti social yang sah dan pengetahuan tentang konteks sosial sebagai pemahaman teks itu sendiri.





c.       Teknik klasifikasi data
Klasifikasi data, dilakukan setelah pengumpulan data selesai. Wellek dan Waren (1989) membuat klasifikasi singkatnya, yaitu : Pertama, sosiologi sastra mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain lain yang menyangkutr pengarang sebagai penghasil sastra yang disebut sosiologi pengarang. Kedua, sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya yang disebut sosiologi sastra tekstual. Ketiga, sosiologi sastra mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Sastra ditulis untuk dibaca. Pembaca karya sastra berasal dari bermacam-macam golongan, kelompok, agama, pendidikan, umur, dan sebagainya disebut sosiologi sastra pragmatik.
            Klasifikasi tersebut sama dengan bagan Ian Watt (1964) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat sebagai berikut:
            Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubungannya dengan kehidupan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang di samping memengaruhi isi karya sastranya terutama bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya.
            Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat waktu di tulis, sabab ciri masyakat yang ada sudah tidak berlaku dengan waktu ia ditulis, sifat lain dari pada yang lain yang mempengaruhi penampilan fakta fakta social dalam karyanya, genre sastra merupakan sikap social suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat dan sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat yang mungkin saja tidak bisa dipercaya dari cermin masyarakat.
            Ketiga, fungsi sosial sastra banyak pertanyaan seperti sampai sejauh mana nilai sastra di pengaruhi nilai sosial dan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Dalam hubungannya ada tiga hal yang harus di perhatikan yaitu sudut pandangan ekstrem romantik, misalnya menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi yang sebagai pembaharu dan perombak. Dari sudut pandang sastra sebagai penghibur belaka. Dari sudut lain sastra harus mengajarkan sesuatu dengan semangat sosial. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbale balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural dan karya sastra itu sendiri merupakan objek budaya yang rumit.

d.   Teknik analisis data
Teknik analisis yang digunakan tergantung pula pada perspektif yang dipilih. Teori pun akan memengaruhi teknik analisis. Analisis pada dasarnya adalah proses pemaknaan yang perlu dicamkan, penelitian sosiologi sastra selalu mengunakan tafsir social. Teknik analisis sosiologi sastra Proust memiliki dua jalur yaitu (1) terletak pada kenyataan bahwa deskripsi social diatas segalanya (2) sifat diri dalam dunia modern yang sangat masuk akal. Hal hal yang perlu ditekankan dalam analisis sosiologi sastra adalah (1) analisis awali dari asumsi bahwa penelitian selalu bermula dari pertanyaan yang berkaitan dengan gejala yang muncul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dan lingkungan sosialnya, (2) peneliti memanfaatkan konsep pemahaman (verstehen) terhadap karya sastra secara mendalam dengan mengungkapkan dan menguraikan gejala social, (3) data analisis bisa berasal dari berbagai hal yang menyangkut hubungan antara karya sastra dan system sosial, (4) nilai nilai dan norma tingkah laku, riwayat hidup pengarang, proses penerbitan, sasran dan berbagai isu sosial. Analisis social juga dapat mengungkapkan apa yang terjadi didunia modern, seberapa jauh manusia modern dalam sastra memiliki otoritas sosial dan obsesi sastrawan untuk menjadi tokoh.






BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
      Kajian teori sosiologi sastra terdiri atas :
1.      Teori Sosio-Fungsionalisme Struktural
2.      Kajian Sosio-Fenomenologis
3.      Teori Sosio-Hermeneutik
4.      Teori Sosio-Ideologis
Ruang Lingkup Penelitian Sosiologi Sastra
a.       Mendalami Interaksi Sosial
     Ruang lingkup sosiologi sastra tidak lepas dari interaksi sosial. Sosiologi sastra adalah perspektif ilmu sastra interdisipliner, untuk mendalami interaksi sosial. Interaksi sosial dalam sastra penuh simbol.
b.      Memahami Konteks Sosial
     Wilayah (ruang lingkup) penelitian sosiologi sastra biasanya bersangkutan dengan teks dan non teks.
c.       Sosiopsikologi Sastra
     Sosiopsikologis adalah ruang lingkup penelitian sosial sastra. sosiopsikologi berusaha menggabungkan aspek psikologi dan sosiologi.
d.      Resepsi Sosial Sastra
     Resepsi sosial sastra merupakan penelitian tanggapan audien terhadap sastra. resepsi masyarakat terhadap sastra sering berbeda-beda.
Metode Penelitian Sosiologi Sastra
1.      Perspektif  Peneletian
2.      Cara pengumpulan data
3.      Teknik klasifikasi data
4.      Teknik analisis data