BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sosiologi sastra merupakan pendekatan
yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari
orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra,
karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan.
Sosiologi sastra tidak terlepas dari
manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang
masih mempertimbangkan karya sastra dan segisegi sosial. Sosiologi sastra
memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitianpenelitian yang
menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh
adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspekaspek
kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja kajian teori dalam peneltian sosiologi sastra ?
2. Apa
yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian sosiologi sastra ?
3. Apa
yang terdapat dalam metode penelitian sosiologi sastra ?
C.
Tujuan
Mengetahui serta memahami konsep penelitian sosiologi sastra dan
metode dalam peneltian sosiologi sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kajian
Teori Sosiologi Sastra
a.
Teori Sosio-Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme, semula memang berakar dari pemikiran
antropologi. Dalam antropologi, dikenal teori fungsi budaya. Budaya itu
merupakan karya yang hidup dan berfungsi bagi manusia. Teori
sosio-fungsionalisme pun demikian ruhnya. Asumsi dasar dari teori ini, didorong
oleh suatu anggapan bahwa sastra lahir untuk memenuhi sebagian kebutuhan
manusia.
Fungsionalisme tidak lepas dari kehidupan manusia. Munculnya
fungsionalisme jelas ada kaitannya dengan kebutuhan hidup. fungsionalisme yang
terkait dengan aspek sosial, disebut sosio-fungsionalisme. Sastra dalam kontek
fungsionalisme juga memuat pesan sosial. Paul johnson (faruk, 1999:107)
menyebut istilah fungsionalisme sebagai pendekatan kajian. Pendekatan itu
terdiri dari dua, yaitu 1.pendekatan etik dan 2. Pendekatan emik. Pengkajian
sosiologi sastra dapat menggunakan dua pendekatan tersebut, tergantung
sasarannya. Adapun fungsionalisme, cenderung saya sebut sebagai teori kajian.
Dasar teori fungsionalisme, menurut hemat saya, sastra itu akan bermakna
apabila memenuhi fungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Jika Johnson menyebut bahwa persoalan dasar yang dibahas
dalam fungsional adalah persoalan apa yang membuat masyarakat itu bersatu,
bagaimana dasar atau landasan keteraturan sosial itu dipertahankan, dan
bagaimana tindakan-tindakan individu itu menyumbang pada masyarakat itu secara
keseluruhan baik secara disadari ataupun tidak, maksudnya, fungsi itu tampak
bermakna apabila dikaitkan dengan struktur. Dengan persoalan dasar yang
demikian, pendekatan fungsional berusaha mempelajari pelembagaan-pelembagaan
sosial yang ada dalam masyarakat dan yang saling berhubungan satu sama lain
sehingga membentuk suatu integrasi sosial. Menurut pendekatan fungsional
Parsons, sastra merupakan tindak komunikasi katektik, suatu tindakan ekspresif,
yang berorientasi pada pemuasan kebutuhan secara langsung, tidak instrumental
ataupun evaluatif.
b.
Kajian Sosio-fenomenologis
Fenomena sosial dalam sastra selalu menyajikan hal-hal yang
unik, dari sisi sosiologi sastra, dan sejumlah khasus yang dapat dikaji dari
aspek-aspek sosio-fenomenologi. Teori kajian sosio-fenomenologi yaitu suatu
wilayah yang memahami karya sastra dari kacamata fenomena sosial. Fenomena ini
dideskripsikan apa adanya, menurut pandangan pemilik sastra.
Sosio-fenomenologi adalah kajian sastra yang menitik
beratkan pada aspek mana. Makna sastra dari sisi sosial, dikaitkan dengan
tempat kelahiran karya itu secara mendalam. Untuk dapat melakukan hal itu
pendekatan yang diambil adalah pendekatan
verstehen meskipun didalamnya tidak tertutup kemungkinan untuk menerima
pendekatan yang bersifat behavioristik positivfistik. Istilah pendekatan ini,
memang kurang tepat yang lebih tepat adalah persepektif. Pendekatan ini bekerja
melalui pemahaman fenomenologis mengenai individu dalam situasi sosialnya,
pemahaman mengenai pola-pola manka yang membangun realitasnya, dan pemahaman
mengenai definisinya terhadap situasi yang didalamnya individu itu bertindak
dan berinteraksi satu sama lain.
Sosiologi seni yang fenomenologis tidak dapat di reduksi
atau menjadi tergantung pada linguistik. Fenomenologi pikiran bekerja pada
level yang lebih dalam dari pada studi empirik bahasa. Adalah benar, bahwa
suatu analisis fenomenologis mengenai konstitusi genetik kesadaran akan mengacu
pada peranan bahasa pada di dalamnya. Namun, analisis sinkronik mengenai
realitas sehari-hari dari pikiran tidak perlu mengacu kepada bahasa, melainkan
pada biografi eksperential subjek yang bersangkutan.
Langkah berikutnya dari sosiologi seni fenemenologi
bergerak kearah gambaran kesadaran kolektif dan menifestasinya dalam berbagai
lingkungan kehidupan. Dalam hal ini sosiologi tersebut harus menolak sekaligus
formalisme Levi Strauss dan reduksinya terhadap persoalan menyeluruh diatas
menjadi hanya prinsip oposisi berpasangan (binaly oposition) dengan
tranformasinya yang terlampau sederhana dan fundamental. Didalam sosiologi sini
fenomenologis diperlukan sesuatu yang lebih konkrit dalam setiap kasus, suatu
konsep pandangan ilmiah, yang lebih kaya dan sugestif lebih jauh lagi,
diperlukan pula metode penelitian mengenai unit-unit analisis yang pada
gilirannya mungkin berhubungan dengan elemen-elemen dari struktur yang
mendasarinya.
Meskipun demikian, dari segi sosiologi dan seni
fenomenologi, teori Gold Mann itu memperlihatkan pula beberapa kelemahan.
Berbeda dengan Gold Menn yang cenderung merekduksi keanggotaan sosial individu
hanya pada satu pengelompokan sosial tertentu, sosiologi fenemenologis harus
menempatkannya dalam konteks berbagai macam pengelompokkan sosial yang ada,
rasial, ekonomik, profesional, ideologis, dan sebagainya. Hal itu berarti bahwa
sosiologi fenomenologis dihadapkan dengan pilihan yang bermula baik dari karya
penulis individual, menghubungkan dengan situasi sosial yang kompleks,
posisisnya dalam sejumlah kelompok, atau mengelaborasi teori makro mengenai
masyarakat dan kesusastraan yang cukup canggih untuk menginkoporasikan
keanekaragaman suatu masyarakat.
Menurut Wolff, kelemahan teori Parson di atas dalam rangka
sosiologi seni fenomenologis adalah kurangnya perhatian kepada makna. Yang
digarap bukan makna eksistensial individu dalam masyarakat, melainkan
abstraksi- abstraksi formal yang digeneralisasi, abstraksi- abstraksi yang
secara longgar berkaitan dengan analisis verstehen Weber. Makna dalam
pengertian fenomenologis bukanlah kumpulan gagasan-gagasan, simbol-simbol
orientasi-orientasi yang terpecah dan secara genetik yang berhubungan, melainkan lebih merupakan
suatu totalitas. Akan tetapi, teori fenomenologis sendiri cenderung mengabaikan
perspektif historis dari suatu tindakan dan konteks struktural dari tindakan
yang bermakna. Oleh karena itu, teori Hermeneutik menjadi penting karena salah
satu pernyataannya adalah bahwa teori itu berusaha untuk mempertahankan intuisi
fenomenologis dan pada saat yang sama memahami masyarakat dan sejarah dalam
perspektif yang lebih luas.
c. Teori
Sosio-Hermeneutik
Sosio-Hermeneutik adalah ilmu tafsir
sastra yang dikaitkan dengan aspek sosial. Aspek sosial tersebut menyangkut
berbagai unsur di luar dan di dalam diri manusia (Endraswara, 1989:4).
Hermeneutik menawarkan dua metode untuk memahami makna objek, yaitu metode
dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan antara bagian dengan
keseluruhan. Kedua metode itu memaksa penafsir untuk bermula dengan memahami
tempat kesadarannya sendiri dalam konteks historiko-kultural.
d. Teori
Sosio-Ideologis
Teori ideologis Bakhtin (Fakruk,
1999:12-130) ini sesungguhnya dapat dimasukkan ke dalam tradisi marxis sebab
memang berangkat darinya. Sebagaimana teori-teori dari tradisi marxis, Bakhtin
menganggap studi sastra sebagai studi superstruktur, studi ideologis, yang
dipertentangkandengan studi struktur dasar, studi sistem produksi ekonomik yang
bersifat material. Menurut Bakhtin, para ahli tradisi marxis cenderung
mengabaikan kesatuan konkret, variasi, dan pentingnya lingkungan ideologis itu,
dan bergerak terlalu cepat dan langsung dari fenomena ideologis ke
kondisi-kondisilingkungan sosio-ekonomik.
B.
Ruang
Lingkup Penelitian Sosiologi Sastra
a.
Mendalami
Interaksi Sosial
Ruang
lingkup sosiologi sastra tidak lepas dari interaksi sosial. Sosiologi sastra
adalah perspektif ilmu sastra interdisipliner, untuk mendalami interaksi
sosial. Interaksi sosial dalam sastra penuh simbol. Damono (2002:2) berpendapat
bahwa sosiologi sastra itu suatu pendekatan, mungkin juga tidak terlalu salah.
Sosiologi sastra adalah pendekatan yang mempertimbangkan aspek kemasyarakatan
dalam sastra. Sastra adalah fenomena
sosial yang memiliki akar kuat di tanah kelahiran sastra.
Sosiologi sastra adalah ilmu sosial sastra yang menelusuri
manusia dari aspek sosial. Lebih jauh lagi, ada satu tingkatan yang mempelajari
dan memahami manusia lewat kenyataan empiris. Gagasan empirik sastra ini yang
melahirkan sosiologi sastra eksperimen.
Dua kategori yang krusial tentang pengetahuan manusia, yaitu (1)
struktur dan (2) fungsi. Struktur adalah
suasana pembentuk fenomena, hingga terjadi interaksi antar unsur. Fungsi adalah
bagaimana cara seseorang mendapatkan keseimbangan yang lebih baik dalam sebuah
struktur. Jika struktur dan fungsi itu disatukan, membentuk kepaduan struktural
fungsional, maka manusia akan sejahtera.
Sosiologi sastra akan menelusuri fakta hidup manusia melalui dua
kutub: (a) ketaksadaran hidup dan (b) kesadaran hidup manusia, yang melahirkan
interaksi sosial. Kunci pokok sosiologi sastra adalah mencoba hubungkan
fakta-fakta itu sebagai sebuah interaksi sosial yang padu. Penelitian sosiologi
sastra juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek (a) keindahan, (b) historis, dan
(c) sosiologis secara utuh.
b.
Memahami
Konteks Sosial
Wilayah
(ruang lingkup) penelitian sosiologi sastra biasanya bersangkutan dengan teks
dan non teks. Yang dimaksud dengan teks, adalah karya sastra tertulis, seperti
cerpen novel, cerbung, dan sebagainya. Karya non teks, berupa komentar,
pendapat, gagasan hasil resepsi seseorang terhadap karya sastra. Kemajuan
pengetahuan sosiologis sangat jauh, hingga apresiasi sosiologis dari teks
tunggal terlalu sering hanya menjelaskan konten mereka dalam hal sosial.
Orientasi
penelitian sosiologi sastra yang paling utama adalah menemukan konteks sosial.
Seperti, dengan banyak subjek, sebuah divisi cenderung merusak kerja untuk
memisahkan mereka sehingga penelitian berkonsentrasi pada konteks sosial atau
pada teks sastra dan makna sosialnya.
Tugas
peneliti sosiologi sastra, yaitu: (1) menemukan konteks sosial yang mengitari
karya sastra, (2) menemukan hubungan status sosial penulis dengan nilai-nilai
estetis struktur teks, (3) menemukan konteks ekonomi yang mempengaruhi
kehadiran karya sastra, (4) menemukan relasi teks-teks sastra realism hingga
modern. Sastrawan akan membangun konteks sosial baru lewat imajinasi. Konteks
sosial itu sesungguhnya sebuah ruang penting. Peneliti akan memasuki
ruang-ruang untuk memaknai konteks.
Batas-batas
konteks sosial memang kabur. Konteks sosial
dapat berhubungan dengan: (a) etika, (b) hukum, (c) budaya, (d) ekonomi,
(e) politik, (f) agama, dan sebagainya.
c.
Sosiopsikologi
Sastra
Sosiopsikologis adalah ruang lingkup penelitian
sosial sastra. sosiopsikologi berusaha menggabungkan aspek psikologi dan
sosiologi. Swingewood (1971) juga mengisyaratkan hadirnya penelitian
sosiopsikologi sastra, biarpun hal itu tersamar. Sosiopsikologi akan lebih mewadahi muatan
sastra secara komprehensif.
Sejarah psikologis penulis, yaitu sebagai fenomena
individu yang aneh. Ini bukan untuk menyangkal peristiwa-peristiwa tertentu
dalam sosialisasi penulis,seperti pengalaman Dicken, bahwa manusia akan mengekspresikan
diri dalam karya seorang penulis, melalui pilihan karakternya, plot, penggunaan
simbol-simbol, metafora, dll, tapi ini bukan untuk menggantikan rasa dan
pemahaman sastra dalam hal struktur sosial, saran, kemudian nilai-nilai. Unsur
batin karya sastra jelas merupakan cetusan psikis sastrawan. Sungguh luar biasa
sastrawan memoles karyanya dengan endapan pengalaman batin. Bahkan ada kalanya
sastrawan itu tergolong “orang gila”, yang tanpa sadar menelorkan ide-ide
cemerlang. Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra sebab objeknya
sama, yaitu menifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya,
objek sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat, sebagai
transindividual, objek psikologi sastra adalah manusia secara individual,
tingkah laku sebagai manifestasi psike.
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai
hasil interaksi pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif,
sedangkan psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan
individu, sebagai kesadaran personal.
Prinsip-prinsip psikologi dimanfaatkan dalam
analisis karya sastra melalui tiga cara, yaitu: (a) melalui pengarang, (b)
melalui semestaan tokoh-tokoh, dan (c) melalui citra arketipe. Cara yang
pertama disebut kritik ekspresif sebab melukiskan eksistensi subjek kreator
sebagai subjek individual, khususnya kaitkan antara sikap pengarang dengankarya
yang di hasilkannya. Cara yang kedua
disebut sebagai kritik objektif, dengan memusatkan perhatian pada psikologi
tokoh-tokoh, khususnya manifestasi karakterisasi sebagai representrasi
karakterologi. Cara yang ketiga disebut kritik arketipe sebab analisis
dipusatkan pada genesis psikologis, khususnya mengenai eksistensi ketaksadaran
kolektif.
Sebagai mitos (Frye, 1973: 95-128), citra arketipe mengevokasi
gudang memori masa lampau sekaligus mengantisipasi stagnasi proses kreatif,
kemudian menampilkannya dalam struktur karya, bahkan sebagai pandangan dunia.
Dalam mengevokasi sistem, simbol, psikologi sastra
pada umumnya menampilkan kualitas psike secara individual, identifikasi
fakta-fakta yang tidak mungkin dilakukan dalam paradigma sosiologi sastra. Fakta-fakta psikologi seolah-olah tak
terpisahkan dengan pribadi, sedangkan fakta-fakta sosial, sebagaimana dijelaskan melalui proposisi.
Durkheimian, berada di luar kesadaran individu, sebagai data yang nyata,
sehingga lebih mudah untuk berkembang.
Menurut Wellek dan Warren (ibid), baik psikologi
sastra maupun sosiologi sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam
analisis, yaitu: (a) analisis pengarang sebagai pencipta, (b) analisis karya
sastra itu sendiri, dan (c) analisis pembaca. Analisis psikologi cenderung
memandang subjek kreator sebagai individu yang berbeda, memiliki keistimewaan,
keunikan, dan kejeniusan. Kemampuannya terletak dalam mengkomplikasikan dan
menyeleksi fakta sosial, proses kreatif memiliki kesejajaran dengan interaksi
sosial yang lain.
Secara definitif intensitas sosiologi sastra adalah
karya sebagai manifestasi interaksi sosial, sedangkan intensitas psikologi
sastra adalah karya sebagai manifestasi struktur psikologis. Hauser (1985:
119), pada dasarnya menolak relevansi psikologi dalam studi sosiologi sastra,
dengan mengatakan bahwa aspek-aspek psikologi bermanfaat dalam sosiologi sastra
apabila memiliki kualitashistoris dan berhubungan dengan kemanusiaan secara
keseluruhan. Dengan kalimat lain, aspek-aspek psikologi yang bermanfaat
analisis sosiologi sastra adalah aspek-aspek psikologi sosial.
Dalam penelitian sosiopsokologis ini, tumpuan utama
tetap sastra sebagai pantulan kehidupan sosial. Oleh sebab itu sosiopsikologis
memang lebih tepat untuk menyelami keindahan karya sastra.
d.
Resepsi
Sosial Sastra
Resepsi sosial sastra merupakan penelitian tanggapan
audien terhadap sastra. resepsi masyarakat terhadap sastra sering berbeda-beda.
Resepsi sosial sastra justru memiliki nilai pragmatik sastra yang penting. Halini
menuntut tingkat keterampilan tinggi, untuk melacak cara-cara di mana sebuah
karya sastra adalah benar-benar diterima oleh masyarakat tertentupada suatu
saat historis tertentu. Dalam fenomena empiris, sastra memang dikemas untuk
mempengaruhi pembaca. Itulah sebabnya, karya sastra perlu dipelajari dalam
kaitannya dengan reaksi pembaca. Ketika, peneliti hendak melacak resepsi
kolektif terhadap karya sastra.
Resepsi sosiologi akan menaikan harga karya sastra.
Contoh, resepsi sastra Guy de Maupassant di Inggris selama 1880s dan 1890s
membantu efek trasisi dari sastra Inggris ditembus oleh seorang seksualitas
natif atau miring ke sudut pandang dunia modern. Resepsi sastra penglipur
wuyung di Indonesia tahun 1970-an, juga telah mengajak pembaca berpikir
romantik terhadapdunia. Persoalan seks menjadi tumpuan masyarakat di jagad
roman penglipur wuyung. Kriteria spesifik nampak di sini bahwa resepsi sastra
merupakan bentuk kegigihan terhadap sastra besar terus bertahan.
C.
Metode
Penelitian Sosiologi Sastra
a. Perspektif Penelitian
1. Perspektif
Sosiologis
Perspektif
adalah sudut pandang. Perspektif sejajar dengan pendekatan atau kacamata. Kalau
pendekatan banyak mewarnai pola pemikiran epistimologis, perspektif lebih
kearah pemikiran metodologis, pendekatan merupakan cara pandang. Secara
epistimologis umumnya, orang mengenal dua pendekatan penelitian sastra, yaitu
(1) pendekatan etik dan (2) pendekatan emik. Pendekatan etik lebih kearah
positivistic, membangun teori terlebih dahulu, menciptakan konstruk, yang
ditaati terus, hingga memperoleh kesimpulan. Pendekatan etik sosiologi sastra,
banyak memuat perspektif (a) hermeneutic (interpretative), (b) semiotic, (c)
structural genetic, dan sebagainya. Adapun pendekatan emik, lebih lentur memuat
berbagai perspektif yaitu (a) perspektif naturalistic, (b) sosiologis, (c)
antropologis, dan (d) fenomenologis.
Perspektif penelitian
sosiologis yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini beberapa penulis
disebut sosiologi sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup
berbagi perspektif yang masing masing didasarkan pada pandangan teoritis
tertentu. Perpektif penelitian sosiologi sastra para kritikus Rusia pengikut
garis Lenin berlainan dengan yang di terapkan oleh kelompok penulis Prancis
yang meyakini gagasan tentang literature engage. Penelitian kedua Negara itu
juga berbeda dengan yang di peraktikan oleh pemerintahan komunis Cina di tahun
50-an atau yang dikerjakan oleh beberapa ahli sosiologi sastra Amerika Serikat.
Namun, semua perspektif tersebut menunjukan satu kesamaan perhatian terhadap
sastra sebagai refleksi social, yang dicitakan oleh sastrawan sebagai anggota
masyarakat. Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap
sastra. Kecenderungan itu yaitu (1) penelitian kearah penelusuran makna
sosiologis teks-teks dan (2) studi keberterimaan teks sastra bagi suatu
kelompok.
Sosiologi sastra, adalah suatu “disiplin” peneletian
sastra yang boleh dikatan masih muda. Sosiologi sastra adalah perspektif
pemahaman sastra dari aspek social. Di dunia antropologi ada perspektif
teoritik, yaitu (1) fungsionalisme structural, (2) fenomenologis, (3)
hermeneutic teks. Menurut Damono (2002:2-3) ada dua corak perpektif penelitian
sastra sosiologis, yaitu : (1) sastra merupakan sebuah cermin proses social
ekonomi belaka. Penelitian ini bergerak dari factor luar sastra untuk
membicarakan sastra. Sastra hanya berharga jika berkaitan dengan unsure dari
luar sastra. Karya sastra adalah gejala kedua, (2) mengutamakan teks sastra
sebagi bahan penelitian. Penelitian diarahkan pada teks untuk untuk menguraikan
strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami gejala social.
Kermode (Elizabeth dab Burns, 1973:214-217)
menyatakan bahwa karya penyair (atau novelis) jelas mengajak kita merasakan
kehidupan kita. Sastra dipandang mampu menangkap rasa social suatu bangsa.
Dengan demikian, novel dapat berubah fungsi dari genre sastra menjadi sebuah
bentuk seni yang mengungkapkan kebenaran. Novelis sering mencoba mengungkapkan
gangguan penting dalam individu dan masyarakat. Novelis sering mencoba
mengekspresikan hal-hal nyata dan tidak masuk akal, untuk membuat sebuah fiksi
kehidupan manusia. Begitulah contoh wawasan perspektif sosiologis, yang tetap
mempetimbangkan aspek aspek individu manusia. Refleksi individu sering
mendompleng pada getaran social. Penelitian sosiologi sastra perlu
memperhatikan : (a) aspek sastra dan social yang berimbang dan (b) penelitian
perlu memperhatikan aspek individu dan masyarakat secara berimbang. Jadi,
perspektif sosiologi sastra itu selalu tidak pernah cuci tangan dengan
perspektif lain.
2. Perspektif
Genetika
Goldman (1980)
pada konferensi tentang sastra dan masyarakat di Brussels pada 1964 memberikan
tesis yang berasal dari catatan Girard tentang drama “ the divine comedy”.
Goldman selalu menekankan aspek kesejarahan teks dalam studi sosiologi sastra
yang disebut strukturalisme genetic. Konsep strukturalisme genetic dimaksudkan
untuk memahami proses memahami dunia dimana mereka tinggal. Proses ini adalah
salah satu dimana penelitian terhadap individu menyusun peristiwa, keadaan,
aspirasi untuk masa depan masyarakat, dan kekhasan struktur social. Struktur
genetika teks, adalah wilayah perspektif historis, yang menurut kelahiran
sastra, terikat dengan struktur pembangun sastra. Sastra dan sosiologi tidak
tampak berbeda, namun sebaliknya, saling melengkapi, yaitu dalam pemahaman kita
tentang masyarakat, secara historis mereka cenderung tetap terpisah. Sastra
jelas fakta imajinatif yang bernuansa psikis. Sastra di ekspresikan dengan daya
tangkap imajiner, penuh emosi, dan dorongan jiwa.
Secara
garis besar, ada perspektif sosiologi sastra, yang paling popular, yaitu : Pertama,
perspektif yang mengadopsi aspek dokumenter sastra, mengatakan bahwa sastra
tersedia untuk semua kalangan. Filsuf perancis Louis de Bonald (1754-1840)
adalah salah satu penulis pertama yang menyatakan bahwa melalui pembacaan yang
teliti seseorang tidak bisa mengatakan tentang kesusastraan dalam suatu
bangsanya. Maksudnya, tanpa memahami genetika karya, seseorang tidak mampu
memahami bangsa ini secara total. Apakah bangsa ini sedang ruwet, berang, mudah
tersinggung, patut dilihat cermat lewat genetika yang melatarbelakangi karya
sastra. Stendhal, dalam karyanya berjudul Le Rounge et le Noir, menulis novel
sebagai cermin perjalanan menurun dari jalan yang tinggi, kadang mencerminkan
biru langit, kadang lumpur digenangan air. Ungkapan ini memberikan gambaran
bagaimana sebuah karya sastra, kadang menjadi saksi tindakan social yang indah
dan sebaliknya juga mendeskrepsikan keburukan. Melalui penelitian sosiologi
sastra, dapat mengungkapkan dua hal: (1) keadaan social yang bagus, yang
membahagiakan, dan menyenangkan seperti birunya langit dan (2) keadaan social
yang benar benar keruh, kotor, seperti halnya lumpur. Penelitian sosiologi
sastra ini menengarai pandangan refleksi langsung dari aspek (a) struktur
social, (b) hubungan keluarga, (c) konflik social, (d) pertentangan kelas dan (e) mungkin tren perceraian dan komposisi
penduduk.
Kedua, tema
penting sastra adalah konflik antara kesadaran sejati penyair, novelis di satu
sisi dan praktis dan bayaran perhitungan sepenuhnya didikte oleh pasar industri
sastra, disisi lain tarik menarik antara sastra sebai seni dan sastra sebagai
perdagangan. Raymond mengatakn struktur perasaan merupakan suatu genetika yang
dapat mewarnai seluruh karya. Gagasan Junus (1986:8) bahwa karya sastra selalu
dicampur tangan penulis, pikiran dan perasaan sering merasuk, sulit terelakan. Perasaan
social sering menjadi genetika sastra. Kiprah perasaan dalam kehidupan social sering
mendominasi interaksi sosial. Oleh sebab itu, genetika sastra perlu ditelusuri
sejauh mana karya sastra menjadi saksi sejarah kehidupan seseorang.
b. Cara
pengumpulan data
Data
berasal dari fakta atau fenomena. Fakta dan fenomena kalau asal dibaca, tidak
akan menjadi data yang akurat. Karena itu, pengumpulan data menjadi syarat
utama penelitian. Dari cara pengumpulan data menjadi sukses untuk analisis data
sosiologis. Data itu dikumpulkan dengan kartu kartu kecil. Cara pengumpulan
data penelitian sosiologi sastra tergantung perspektif penelitiannya.
Perspektif yang terfokus pada (1) teks, (2) sastrawan , (3) fungsi social, (4)
dokumen budaya, (5) struktur genetika, dan lain lain memerlukan kecermatan
pengumpulan data. Beberapa cara bisa ditempuh dalam pengumpulan data penelitian
sosiologi sastra. Karena fokusnya adalah karya sastra. Sosiologi sastra tidak
hanya berfokus penelitian pada teks sebagai benda yang otonom, sumber sumber
yang diluar teks sastra itu pun penting. Cara untuk memproleh data antara lain
: (1) melalui pembacaan heuristic, artinya hati-hati, tajam terpecaya,
menafsirkan sesuai konteks sosial, (2) melalui pembacaan hermeneutik, artinya
penelitian mencoba menafsirkan terus menerus, sesuai bahasa simbol sosial,
dikaitkan dengan konteks historis, (3) wawancara mendalam, ketika hendak
meneliti resepsi sastra cultural dalam lingkup yang sempit, serta sosiologi
sastrawan, (4) kuesioner, yaitu mengedarkan daftar pertanyaan, terutama terkait
dengan resepsi sastra dalam jumlah responden besar, (5) pengamatan adalah
beberapa saja dari cara cara yang bisa di tempuh, untuk mencermati sosiologi
pengarang, terkait dengan proses kreasi, pengaruh sastra terhadap perkembangan
politik dan sebagainya. Kandungan social dalam sastra ada kalanya tidak lepas
dari masalah agama, budaya, ekonomi, politik, dan iklim lingkungan.
Tugas
peneliti sosiologi sastra adalah menemukan gagasan penting dalam karya sastra
sebagai bagian dalam kehidupan social.
Sangidu (2007:26-29) ketika pengumpulan data perlu menemukan apa yang
menjadi dorongan lahirnya sifat sifat masyarakat dan memperhatikan mengapa karya
sastra memiliki kemampuan mengubah reepsi masyarakat dan juga memahami bahwa
sastra tidak mungkin ada manakala kehidupan social tidak ada. Dua manfaat dari
pengumpulan data adalah yang paling bersemangat dari penelitian sosiologi
sastra adalah cara melihat sastra mengacu pada masyarakat sehingga memungkinkan
untuk menganggapnya sebagai bukti social yang sah dan pengetahuan tentang
konteks sosial sebagai pemahaman teks itu sendiri.
c. Teknik
klasifikasi data
Klasifikasi
data, dilakukan setelah pengumpulan data selesai. Wellek dan Waren (1989)
membuat klasifikasi singkatnya, yaitu : Pertama, sosiologi sastra
mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain lain yang menyangkutr
pengarang sebagai penghasil sastra yang disebut sosiologi pengarang. Kedua,
sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi
pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya yang disebut sosiologi sastra tekstual. Ketiga, sosiologi
sastra mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Sastra
ditulis untuk dibaca. Pembaca karya sastra berasal dari bermacam-macam
golongan, kelompok, agama, pendidikan, umur, dan sebagainya disebut sosiologi
sastra pragmatik.
Klasifikasi tersebut sama dengan
bagan Ian Watt (1964) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra dan masyarakat sebagai berikut:
Pertama, konteks sosial pengarang.
Ini ada hubungannya dengan kehidupan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini
termasuk faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang di samping
memengaruhi isi karya sastranya terutama bagaimana pengarang mendapatkan mata
pencahariannya.
Kedua, sastra sebagai cermin
masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan
masyarakat. Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat waktu
di tulis, sabab ciri masyakat yang ada sudah tidak berlaku dengan waktu ia
ditulis, sifat lain dari pada yang lain yang mempengaruhi penampilan fakta
fakta social dalam karyanya, genre sastra merupakan sikap social suatu kelompok
tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat dan sastra berusaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat yang mungkin saja tidak bisa dipercaya dari
cermin masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra banyak
pertanyaan seperti sampai sejauh mana nilai sastra di pengaruhi nilai sosial
dan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Dalam hubungannya
ada tiga hal yang harus di perhatikan yaitu sudut pandangan ekstrem romantik,
misalnya menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi yang
sebagai pembaharu dan perombak. Dari sudut pandang sastra sebagai penghibur
belaka. Dari sudut lain sastra harus mengajarkan sesuatu dengan semangat sosial.
Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbale balik yang rumit dari
faktor-faktor sosial dan kultural dan karya sastra itu sendiri merupakan objek
budaya yang rumit.
d. Teknik
analisis data
Teknik
analisis yang digunakan tergantung pula pada perspektif yang dipilih. Teori pun
akan memengaruhi teknik analisis. Analisis pada dasarnya adalah proses
pemaknaan yang perlu dicamkan, penelitian sosiologi sastra selalu mengunakan
tafsir social. Teknik analisis sosiologi sastra Proust memiliki dua jalur yaitu
(1) terletak pada kenyataan bahwa deskripsi social diatas segalanya (2) sifat
diri dalam dunia modern yang sangat masuk akal. Hal hal yang perlu ditekankan
dalam analisis sosiologi sastra adalah (1) analisis awali dari asumsi bahwa
penelitian selalu bermula dari pertanyaan yang berkaitan dengan gejala yang
muncul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dan lingkungan sosialnya,
(2) peneliti memanfaatkan konsep pemahaman (verstehen) terhadap karya sastra
secara mendalam dengan mengungkapkan dan menguraikan gejala social, (3) data
analisis bisa berasal dari berbagai hal yang menyangkut hubungan antara karya
sastra dan system sosial, (4) nilai nilai dan norma tingkah laku, riwayat hidup
pengarang, proses penerbitan, sasran dan berbagai isu sosial. Analisis social
juga dapat mengungkapkan apa yang terjadi didunia modern, seberapa jauh manusia
modern dalam sastra memiliki otoritas sosial dan obsesi sastrawan untuk menjadi
tokoh.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Kajian teori sosiologi
sastra terdiri atas :
1. Teori
Sosio-Fungsionalisme Struktural
2. Kajian
Sosio-Fenomenologis
3. Teori
Sosio-Hermeneutik
4. Teori
Sosio-Ideologis
Ruang Lingkup
Penelitian Sosiologi Sastra
a. Mendalami
Interaksi Sosial
Ruang lingkup sosiologi sastra tidak lepas dari interaksi
sosial. Sosiologi sastra adalah perspektif ilmu sastra interdisipliner, untuk
mendalami interaksi sosial. Interaksi sosial dalam sastra penuh simbol.
b. Memahami
Konteks Sosial
Wilayah (ruang lingkup) penelitian sosiologi sastra biasanya
bersangkutan dengan teks dan non teks.
c. Sosiopsikologi
Sastra
Sosiopsikologis adalah ruang lingkup penelitian sosial sastra.
sosiopsikologi berusaha menggabungkan aspek psikologi dan sosiologi.
d. Resepsi
Sosial Sastra
Resepsi sosial sastra merupakan penelitian tanggapan audien
terhadap sastra. resepsi masyarakat terhadap sastra sering berbeda-beda.
Metode Penelitian
Sosiologi Sastra
1. Perspektif Peneletian
2. Cara
pengumpulan data
3. Teknik
klasifikasi data
4. Teknik
analisis data