BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembelajaran
bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya (B1). Untuk masalah yang dibicarakan
ini ada pakar yang menyebut dengan istilah pembelajaran bahasa (language learning) dan ada pula yang menyebut pemerolehan bahasa (language acquisition) kedua. Istilah pembelajaran bahasa karena diyakini
bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara
sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa
ibu yang diperoleh secara alamiah. Bagi mereka yang mengunakan istilah
pemerolehan bahasa kedua (ketiga, dan seterusnya) beranggapan bahwa bahasa
kedua itu juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam
pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan. Dalam masyarakat
yang bilingual atau multilingual pemerolehan bahasa kedua secara informal ini
bisa saja terjadi, seperti di daerah-daerah pinggiran Jakarta di mana bahasa Melayu
Betawi bertumpang tindih dengan bahasa Sunda, membuat banyak kanak-kanak
sekaligus memperoleh kemampuan berbahasa Melayu dialek jakarta dan berbahasa
Sunda.
Penggunaan
istilah bahasa ibu perlu dilakukan dengan hati-hati sebab banyak kasus terjadi,
terutama di kota besar yang multilingual seperti Jakarta, bahasa-ibu seseorang
bukanlah bahasa yang digunakan atau dikuasai si ibu sejak lahir. Di Jakarta
banyak pasangan suami istri, yang bila berdua saja menggunakan bahasa daerah,
tetapi bila ada kanak-kanaknya mereka menggunakan bahasa indonesia. Dengan
demikian bahasa-ibu atau bahasa pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan
bukan bahasa yang digunakan oleh ibu dan bapaknya. Jadi, sebenarnya penggunaan
istilah bahasa pertama akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja tipe pembelajaran bahasa ?
2. Apa
yang terdapat dalam sejarah pembelajaran bahasa ?
3. Apa
saja hipotesis-hipotesis pembelajaran bahasa ?
4. Faktor
apa yang terdapat dalam pembelajaran bahasa kedua ?
5. Apa
yang dimaksud dengan transfer dan interferensi ?
C.
Tujuan
Mengetahui dan memahami tipe pembelajaran bahasa,
sejarah pembelajaran bahasa, hipotesis-hipotesis pembelajaran bahasa, faktor
pembelajaran bahasa kedua serta pengertian transer dan interferensi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dua
Tipe Pembelajaran Bahasa
Ellis
(1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Pertama tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa
kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan
bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik
banyak dijumpai. Belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama prosesnya
dengan pemerolehan bahasa pertama yang berlangsungnya secara alamiah di dalam
lingkungan keluarga atau lingkungan tempat tinggal.
Tipe
kedua, yang bersifat formal
berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantu belajar
yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal dalam
kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.
B.
Sejarah
Pembelajaran Bahasa
Menurut
Nurrhadi (1990) dalam sejarah perkembangannya ada empat tahap penting yang
dapat diamati sejak 1880 sampai dasawarsa 80-an. Tahap pertama adalah periode antara 1880-1920. Pada tahap ini
terjadi rekonstruksi bentuk-bentuk metode langsung yang pernah digunakan atau
dikembangkan pada zaman Yunani dulu. Metode langsung yang pernah digunakan pada
awal abad-abad Masehi direkonstruksi dan diterapkan di sekolah-sekolah
(biasanya sekolah biara). Selain itu, dikembangkan juga metode bunyi (phonetic method) yang juga berasal dari Yunani
Tahap
kedua adalah masa antara tahun
1920-1940. Pada masa ini di Amerika dan Kanada terbentuk forum belajar bahasa
asing yang kemudian menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi.
Tahap
ketiga, adalah masa antara tahun 1940-1970 yang
kemunculannya dilatarbelakangi oleh situasi peperangan (Perang Dunia II), di
mana orang berikhtiar mencari metode belajar bahasa asingyang paling cepat dan
efisien untuk dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bertikai. Tahap ini
secara teori dibagi 4 periode, yaitu :
1. Periode
1940-1950, ditandai dengan lahirnya metode yang dikenal dengan nama American Army Method, yang lahir dari
markas militer Amerika, untuk keperluan ekspansi perang. Pada periode ini dalam
dunia linguistik muncul juga pendekatan baru yang disebut dengan nama
pendekatan linguistik. Pendekatan ini merupakan imbas dari lahirnya pandangan
strukturalis dalam bidang kebahasaan.
2. Periode
1950-1960, ditandai dengan munculnya
metode audiolingual di Amerika dan metode audiovisual di Inggris dan Perancis,
sebagai akibat langsung dari keberhasilan American
Ermy Method. Metode audiovisual dan audiolingual ini lahir dari pandangan
kaum behavioris dan akibat adanya penemuan alat-alat bantu belajar bahasa. Yang
menjadi landasan adalah teori Stimulus-Responsnya B.F. Skinner.
3. Periode
ketiga 1960-1970, merupakan awal runtuhnya metode audiolingual dan audiovisual,
dan mulai populernya aalis kontrastif, yang berusaha mencari landasan teori
dalam pengajaran bahasa.
4. Periode
keempat 1970-1980, merupakan periode yang paling inovatif dalam pembelajaran
bahasa kedua. Konsep dan hakikat belajar bahasa dirumuskan kembali, kemudian
diarahkan pada pengembangan sebuah model pembelajaran yang efektif dan efisien
yang dilandasi oleh teori yang kokoh.
C.
Hipotesis-hipotesis
Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran
bahasa sampai saat ini belum secara mantap bisa disebut sebagai teori karena
belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu, masih lebih umum disebut sebagai
suatu hipotesis. Di antara hipotesis-hipotesis itu yang perlu diketengahkan,
yaitu :
a. Hipotesis
kesamaan antara B1 dan B2
Hipotesis
ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2. Kesamaan
itu terletak pada urutan pemerolehan struktur bahasa, seperti modus interogasi,
negasi dan morfem-morfem gramatikal.
b. Hipotesis
kontrastif
Hipotesis
ini dikembangkan oleh charles Fries (1945) dan Robert Lado (1975). Hipotesis
ini menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat dalam belajar B2 adalah karena
adanya perbedaan antara B1 dan B2. Sedangkan kemudahan dalam belajar B2
disebabkan oleh adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi, adanya perbedaan antara
B1 dan B2 akan menimbulkan kesulitan dalam belajar B2, yang mungkin juga akan
menimbulkan kesalahan, sedangkan adanya persamaan antara B1 dan B2 akan
menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar B2.
c. Hipotesis
Krashen
Berkenaan
dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Krashen mengajukan sembilan buah
hipotesis yang saling berkaitan. Kesembilan hipotesis itu adalah :
1. Hipotesis
Pemerolehan dan Belajar
Pemerolehan adalah penguasaan suatu bahasa melalui
cara bawah sadar atau alamiah dan terjadi tanpa kehendak yang terencana. Proses
pemerolehan tidak melalui usaha belajar yang formal. Sebaliknya, yang dimaksud
dengan belajar adalah usaha sadar untuk secara formal dan eksplisit menguasai
bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenaan dengan kaidah-kaidah bahasa.
Belajar terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
2. Hipotesis
Urutan Alamiah
Proses pemerolehan bahasa kanak-kanak memperoleh
unsur-unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksikan. Urutan ini
bersifat alamiah. Hasil penelitian menunjukkan adanya pola pemerolehan
unsur-unsur bahasa yang relatif stabil untuk bahasa pertama, bahasa kedua,
maupun bahasa asing.
3. Hipotesis
Monitor
Hipotesis monitor menyatakan adanya hubungan antara
proses sadar dalam pemerolehan bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar
dan proses bawah sadar menghasilkan pemerolehan. Semua kaidah tata bahasa yang
kita hafalkan tidak selalu membantu kelancaran dalam berbicara. Kaidah tata
bahasa yang kita kuasai ini hanya berfungsi sebagai monitor saja dalam
pelaksanaan berbahasa. Jadi, ada hubungan yang erat antara hipotesis monitor
ini dengan hipotesis pertama (tentang pemerolehan dan belajar). Pemerolehan
akan menghasilkan pengetahuan implisit, sedangkan belajar akan menghasilkan
pengetahuan eksplisit tentang aturan-aturan tata bahasa.
4. Hipotesis
Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai
bahasa melalui masukan yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian
pada pesan atau isi, dan bukannya pada bentuk. Hal ini berlaku bagi semua orang
dewasa maupun kanak-kanak, yang sedang belajar bahasa.
5. Hipotesis
Afektif (Sikap)
Orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat
memperoleh bahasa kedua dengan lebih baikdibandingkan orang dengan kepribadian
dan sikap yang lain. Sesorang dengan kepribadian terbuka dan hangat akan lebih
berhasil dalam belajar bahasa kedua dibandinhkan dengan orang dengan
kepribadian yang agak tertutup.
6. Hipotesis
Pembawaan (Bakat)
Bakat bahasa mempunyai hubungan yang jelas dengan
keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen menyatakan bahwa sikap secara
langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua, sedangkan bakat
berhubungan dengan belajar.
7. Hipotesis
Filter Afektif
Sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan
sehingga seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperoleh
bahasa kedua. Filter itu dapat berupa kepercayaan diri yang kurang, situasi
yang menegangkan, sikap defensif, dan sebagainya, yang dapat mengurangi
kesempatan bagi masukan untuk masuk ke dalam sistem bahasa yang dimiliki seseorang.
Filter afektif ini lazim juga disebut mental block.
8. Hipotesis
Bahasa Pertama
Bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali
ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika
seorang anak pada tahap permulaan belajar bahasa kedua dipaksa untuk
menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosa
kata dan aturan tata bahasa pertamanya.
9. Hipotesis
Variasi Individual Pengguna Monitor
Hipotesis ini, yang berkaitan dengan hipotesis
ketiga (hipotesis monitor), menyatakan bahwa cara seseorang memonitor
penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada yang
terus-menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak
pernah menggunakannya. Namun, diantara keduanya ada pula yang menggunakan
monitor itu sesuai dengan keperluan atau kesempatan untuk menggunakannya.
d. Hipotesis
Bahasa-Antara
Bahasa
antara (Interlanguage) adalah bahasa
ujaran atau ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahasa kedua
pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan
sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki ciri bahasa pertama dan
ciri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik tersendiri
yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Bahasa antara ini
merupakan produk dari strategi sesorang dalam belajar bahasa kedua. Artinya,
bahasa ini merupakan kumpulan atau akumulasi yang terus menerus dari suatu
proses pembentukan penguasaan bahasa.
e. Hipotesis
Pijinisasi
Dalam
proses belajar bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara
terbentukjuga yang disebut bahasa pijin (pidgin),
yakni sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah
tertentu yang berada di dalam dua bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan
untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing-masing memiliki bahasa
sendiri. Jadi bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli.
D. Faktor-faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
1.
Faktor Motivasi
Dalam pembelajaran bahasa kedua ada
asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan,
dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam belajar bahasa kedua cenderung
akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh
suatu dorongan, tujuan, atau motivasi itu.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran
bahasa kedua, motivasi itu mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi integratif dan
fungsi instrumental. Motivasi berfungsi integratif kalau motivasi itu mendorong
seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk
berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu. Sedangkan motivasi
berfungsi instrumental kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki
kemauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat
2.
Faktor Usia
Ada anggapan umum dalam pembelajaran
bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran
bahasa kedua dibvandingkan dengan orang dewasa (Bambang Djunaidi, 1990).
Anggapan ini telah mengarah pada adanya hipotesis mengenai usia kritis
(Lenneberg, 1967; Oyama, 1976) untuk belajar bahasa kedua.
Namun,
hasil penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua ini
menunjukkan hal berikut.
a.
Dalam hal
urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab urutan
pemerolehan oleh kanak-kanak dan orang dewasa tampaknya sama saja (Fathman, 1975;
Dulay, Burt, dan Krashen, 1982).
b.
Dalam hal
kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan : (1)
anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem
fonologi atau pelafalan. (2) orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada
aknak-kanak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling tidak pada permulaan
masa belajar. (3) kanak-kanak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi
tidak selalu lebih cepat (Oyama, 1976; Dulay, Burt, dan Krashen. 1982; Asher
dan Gracia, 1969).
Dari
hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa faktor umur, yang tidak dipisahkan
dari faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran bahasa
kedua.
3.
Faktor
penyajian formal
Pembelajaran atau penyajian pembelajaran
bahasa secara formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan
keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel
telah dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga keadaan
lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara formal, di dalam kelas, sangat
berbeda dengan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara naturalistik.
Steiberg (1979; 166) menyebutkan
karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas atas lima segi berikut.
a.
Lingkungan
pembelajaran bahasa di kelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas
yang meliputi penyesuaian-penyesuaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan
b.
Di lingkungan
kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik yang dilakukan guru
berdasarkan kurikulum yang digunakan
c.
Di lingkungan
kelas disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk meningkatkan
kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan alamiah.
d.
Di lingkungan
kelas sering disajikan data dan situasi bahasa yang artifisial, tidak seperti
dalam lingkungan kebahasaan alamiah.
e.
Di lingkungan
kelas disediakan alat-alat pengajaran seperti
buku teks, buku penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus
diselesaikan dan sebagainya.
Dengan
kondisi lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa kedua, maka
tentunya ada pengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa kedua, yang
dapat di perinci dalam hal sebagai berikut.
a. Pengaruh
terhadap kompetensi
Lingkungan formal di kelas cenderung
berfokus pada penguasaan kaidah-kaidah dan bentuk-bentuk bahasa secara sadar,
misalnya, dalam pembelajaran bahasa inggris siswa diajak menguasai bagaimana
penggunaan partikel a dan an, bagaimana penggunaan preposisi at, in, dan on,
atau bagaimana menggunakan kata some dan any, dan sebagainya. Namun, penggunaan
kopetensi ini sangat dipengaruhi oleh peran yang dimainkan pembelajar dalam
lingkungan formal pembelajaran itu.
b. Pengaruh
terhadap Kualitas Performansi
Seperti
sudah disebutkan bahwa performansi merupakan realisasi kompetensi kebahasaan
yang dimiliki seseorang (Ellis, 1986:5-6). Pembelajaran bahasa secara formal di
dalam kelas dapat menjamin kualitas input
yang diterima pembelajar (Ellis, 1986:231). Lalu, apabila input yang diterima itu berkualitas tinggi, maka menurut satu
hipotesis, keluaran (performansi) yang dihasilkan juga mempunyai kualitas
tinggi, meskipun diakui adanya variasi individual. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Dulay dkk. (1982 : 13) bahwa kualitas lingkungan mempengaruhi hasil
pembelajaran bahasa kedua.
c. Pengaruh
terhadap Urutan Pemerolehan
Yang dimaksud dengan urutan pemerolehan di
sini adalah pemerolehan morfem gramatikal. Menurut beberapa pakar, seperti
Ellis (1984), Makino (1979), Felix (1981), bahwa urutan pemerolehan morfem
gramatikal pembelajaran yang mendapat pembelajaran bahasa secara formal tidak
berbeda dengan mereka yang belajar secara alami (naturalistik). Namun, hasil
penelitian pengaruh pembelajaran bahasa secara formal terhadap urutan
pemerolehan ini menunjukan kesimpulan yang berbeda.
d. Pengaruh
terhadap Kecepatan Pemerolehan
Kecepatan pemerolehan adalah kecepatan
menangkap masukkan (input) dan menjadikan masukkan itu sebagai pembendaharaan
kebahasaannya. Kecepatan pemerolehan ini sebenarnya bersifat relatif, dan
banyak tergantung pada faktor lain seperti inteligensi, sikap, bakat, motivasi
(Ellia, 1986: 99-126)
4.
Faktor Bahasa
Pertama
Para pakar pembelajar bahasa kedua
pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses
penguasaan bahasa kedua pembelajar. Malah bahasa pertamma ini telah lama
dianggap menjadi pengganggu di dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal ini
karena bisa terjadi seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan
transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua.
Akibatnya, terjadilah interferensi, alih kode, campur kode.
a.
Menurut
teori stimulus-respons yang dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa dalah
hasil perilaku stimulus-respons. Maka apabila seorang pembelajar ingin
memperbanyak penggunaan ujaran, dia harus memperbanyak penerimaan stimulus.
Oleh karena itu, peranan lingkungan sebagai sumber datangnya stimulus menjadi
dominan dan sangat penting di dalam membantu proses pembelajaran bahasa kedua.
b.
Teori
kontransif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya
ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya olehsi
pembelajaran (Klein, 1986:5). Berbahasa kedua adalah suatu proses transferisasi.
Maka, jika struktur bahasa yang sudah dikuasai (bahasa pertama) banyak
mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari, akan terjadilah semacam
pemudahan dalam proses transferisasinya. Sebaliknya, jika struktur keduanya
memiliki perbedaan, maka akan terjadilahkesulitan bagi pembelajar untuk
mengusai bahasa kedua itu.
5.
Faktor
Lingkungan
Dulay (1985: 14) menerangkan bahwa
kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi seorang pembelajar untuk dapat
berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Yang dimaksud dengan
lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar
sehubungan bahasa kedua yang sedang dipelajari (Tjihjono, 1990) yang termasuk dalam
lingkungan bahasa adalah situasi di restoran atau di toko, percakapan dengan
kawan-kawan dan sebagainya.
Lingkungan bahasa ini dapat dibedakan
atas lingkungan formal dan lingkungan informal.
a.
Pengaruh
Lingkungan Formal
Lingkungan
formal adalah salah satu lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada
penguasaan kaidah-kaidah bahasa yang sedang dipelajari secara sadar. Sehubungan
dengan ini Krashen (1983: 36) menyatakakn bahwa lingkungan formal bahasa ini
memiliki ciri yaitu bersifat artifisial, merupakan bagian dari keseluruhan
pengajaran bahasa di sekolah atau di kelas, dan di dalamnya pengajaran
diarahkan untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah
bahasa yang telah dipelajarinya.
b.
Pengaruh
Lingkungan Informal
Lingkungan
informal bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat. Yang termasuk lingkungan
informal ini antara lain bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa
pengasuh atau orang tua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis
pembelajar. Secara umum dapat dikatakan lingkungan ini sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar bahasa kedua para pembelajar.
E. Transfer dan Interferensi
Telah disinggung bahwa dalam
pembelajaran bahasa kedua, bahasa pertama “dapat mengganggu” pengguna bahasa
kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya
ketika melaksanakan pengguna bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam
kajian sosiolinguistik disebut intreferensi, campur kode, dan kekhilafan
(error). Penggunaan atau pentransferan unsur-unsur bahasa pertama ini
lama-kelamaan akan berkurang, dan mungkin juga menghilang, sejalan dengan taraf
kemampuan terhadap bahasa kedua itu.
Dalam bahasa Indonesia interferensi
pada tataran fonologi dilakukan, misalnya oleh para penutur bahasa indonesia
yang berasal dari Bali selalu mengucapkan fonem apikoalveolar [t] menjadi bunyi
apikoalveolar retrofleks [t].
Interferensi dalam bidang
morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Umpamanya
dalam bahasa Belanda dan Inggris ada sufiksisasi. Maka banyak penutur bahasa
Indonesia menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia seperti
neonisasi, tendanisasi, dan turinisasi. Bentuk-bentuk tersebut merupakan
penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia sebab untuk membentuk
nomina proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi bentuk tresebut
seharusnya adalah peneonan, penendaan, dan penurian.
Kiranya interferensi yang
tampak menonjol adalah pada tataran fonologi dan leksikon. Kita dengan mudah
dapat menebak seseorang berasal dari mana dengan menyimak lafal dan kosakata
yang digunakan dalam berbahasa kedua.
Dewasa ini banyak orang
Indonesia dalam berbahasa indonesia menyelipkan sejumlah butir leksikal bahasa
asing (Inggris, Arab, dan sebagainya). Hal ini juga merupakan suatu transfer
yang dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan dua alasan : pertama karena dia
tidak tahu padanannya dalam bahasa Indonesia, dan kedua sebagai sarana gengsi,
untuk memberi kesan bahwa dia orang “pandai”. Penggunaan unsur leksikal asing
ini dalam bahasa Indonesia bukanlah suatu transfer karena bahasa asing itu
bukan bahasa pertama si pembicara itu.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Ellis
(1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Pertama tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa
kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan
bermasyarakat. Tipe kedua, yang
bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat
bantu belajar yang sudah dipersiapkan.
Hipotesis-hipotesis Pembelajaran Bahasa, yaitu :
a. Hipotesis
kesamaan antara B1 dan B2
b. Hipotesis
kontrastif
c. Hipotesis
Krashen
Faktor-faktor Penentu dalam
Pembelajaran Bahasa Kedua, yaitu :
1.
Faktor motivasi
2.
Faktor usia
3.
Faktor penyajian formal
4.
Faktor bahasa pertama
5.
Faktor Lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguitik. Jakarta : Rineka Cipta.