Monday, June 27, 2016

Makalah PROSES PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK


   

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      
       Semua manusia tidak dilahirkan dalam keadaan mampu atau tidak menyesuaikan diri. Penilaian benar atau salah seseorang menyesuaikan diri tergantung dari kondisi fisik, mental, dan emosional yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
       Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri. Kegagalan remaja dalam melakukan penyesuaian diri akan menimbulkan bahaya seperti tidak bertanggung jawab dan mengabaikan pelajaran, sikap sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal, dan perasaan menyerah.
       Dengan penyesuaian diri ini orang mampu untuk mengatasi masalah dengan baik serta mampu menempatkan dirinya pada suatu hal yang berguna bagi dirinya dan orang lain di kalangan masyarakat. Di dalam penyesuaian diri ini orang harus tahu betul apa yang akan dipelajari dalam hal ini. Penyesuaian diri terdapat hal–hal seperti faktor penyesuaian diri, aspek penyesuaian diri, karakteristik dalam penyesuaian diri, bentuk penyesuaian diri, konsep dan proses penyesuaian diri. Hal ini harus bisa terpenuhi supaya tidak terjadi masalah di dalam masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan penyesuaian diri ?
2.      Apa saja karakteristik penyesuaian diri ?
3.      Apa faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri ?
4.      Apa saja permasalahan penyesuaian diri ?

1.3 Tujuan
       Dapat mengetahui dan memahami pengertian dari penyesuaian diri, karakteristik penyesuain diri, faktor-faktor yang mempengaruhi proses prnyesuaian diri dan permasalahan-permasalahan penyesuaian diri.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyesuaian Diri
       Penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, mengatasi ketegangan, frustasi, serta konflik dengan memperhatikan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia hidup. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai berikut :
1.      Penyesuaian diri berarti adaptasi dapat dipertahankan eksistensinya atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani, dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan lingkungan sosial.
2.      Penyesuain diri dapat pula diartikan sebagai konformitas yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip yang berlaku umum.
3.      Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan umtuk membuat rencana dan juga mengordinasir respon-respons sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan dan frustasi-frustasi secara efektif. Individu memiliki kemampuan menghadapi realita hidup dengan cara yang adekuat atau memenuhi syarat.
4.      Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional berarti memiliki respon emosional yang sehat dan tepat pada setiap persoalan.

B. Karakteristik Penyesuaian Diri
       Karakteristik penyesuaian diri remaja menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2011:179), ada tujuh karakteristik :
1.      Penyesuaian diri remaja terhadap peran dan identitasnya
2.      Penyesuaian diri remaja terhadap pendidikan
3.      Penyesuaian diri remaja terhadap kehidupan Seks
4.      Penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial
5.      Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan waktu luang
6.      Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan uang
7.      Penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan, konflik, dan frustasi





a.      Penyesuaian diri secara positif
       Mereka tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut :
1.      Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan
2.      Tidak menunjukkan adanya mekanisme pertanyaan yang salah
3.      Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi
4.      Memiliki pertimbangan yang rasional dalam pengarahan diri
5.      Mampu belajar dari pengalaman
6.      Bersikap realistik dan objektif

b.      Penyesuaian diri yang negatif
1.      Reaksi bertahan (Defence Reaction)
a.       Rasionalisasi, yaitu mencari alasan-alasan yang masuk akal untuk membenarkan tindakannya yang salah.
b.      Represi, yaitu menekankan perasaan yang dirasakan kurang enak ke alam tidak sadar. Ia berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan.
c.       Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima.
d.      Sourgrapes (anggur kecut), yaitu memutar balikkan keadaan.

2.      Reaksi menyerang (Aggressive Reaction)
a.       Selalu membenarkan diri sendiri
b.      Selalu berkuasa dalam setiap situasi
c.       Suka membalas dendam
d.      Mau memilih segalanya
e.       Merasa senang bila mengganggu orang lain.
f.       Suka menggertak, baik dengan ucapan maupun perbuatan
g.      Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka
h.      Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
i.        Keras kepala dalam sikap perbuatannya
j.        Bersikap balas dendam
k.      Memperkosa hak orang lain
l.        Tindakan yang serampangan dan
m.    Marah secara sadis





3. Reaksi melarikan diri (Escape Reaction)
a. Suka berfantasi untuk memuaskan keinginan yang tidak tercapai dengan bertukang-angan (seolah-olah sudah tercapai)
b. Banyak tidur, suka minuman keras, bunuh diri, atau menjadi pecandu narkoba.
c. Regresi, yaitu kembali pada tingkah laku kekanak-kanakan. Misalnya, orang dewasa yang bersikap dan berperilaku seperti anak kecil, dll.

C.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri
       Proses penyesuaian diri identik dengan faktor-faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu dapat dikelompokkan sebagai berikut : kondisi-kondisi fisik (keturunan), susunan saraf, kesehatan dan sebagainya, perkembangan dan kematangan (kematangan intelektual sosial dan emosional), penentu psikologis (termasuk didalamnya pengalaman, penentuan diri, frustasi dan konflik), kondisi lingkungan (keluarga dan sekolah), penentu kultural (budaya dan agama).
a.      Kondisi jasmaniah
Kondisi jasmaniah seperti pembawaan dan struktur atau konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembangannya secara instrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh.

b.      Perkembangan, kematangan dan penyesuaian diri
Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon  yang bersifat instinktif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman.

c.       Penentu psikologis terhadap penyesuaian diri
Beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian diri diantaranya adalah :
1.      Pengalaman
2.      Proses belajar
3.      Determinasi diri
4.      Konflik dan penyesuaian





d.      Lingkungan sebagai penentu penyesuaian diri
Berbagai lingkungan anak seperti keluarga, dan pola hubungan di dalamnya, sekolah masyarakat, kultur, dan agama berpengaruh dalam penyesuaian diri.
1.        Pengaruh rumah dan keluarga
2.        Hubungan orang tua dan anak
3.        Hubungan saudara
4.        Hubungan masyarakat
5.        Sekolah

e.       Kultural dan agama sebagai penentu penyesuaian diri
       Lingkungan kultural dimana individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Contohnya : tatacara kehidupan di sekolah, masjid, gereja dan semacamnya akan mempengaruhi bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia. Agama memegang peranan penting sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri.

D.    Permasalahan-Permasalan Penyesuaian Diri Remaja
a.      Sikap orang tua yang otoriter
Otoritas kepada remaja dapat menghambat proses penyesuaian diri remaja. Biasanya remaja berusaha menentang kekuasaan orang tua dan ia nantinya akan cenderung otoriter terhadap teman-temannya serta cenderung otoritas yang ada baik di sekolah maupun di masyarakat.
b.      Perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan
Memungkinkan timbulnya rasa iri hati dalam jiwa anak perempuan terhadap saudara yang laki-laki.
c.       Remaja yang hidup di keluarga yang retak
Tampak padanya ada kecenderungan yang besar untuk marah, suka menyendiri, kurang kepekaan terhadap penerimaan sosial dan kurang mampu menahan diri serta lebih gelisah dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam rumah tangga yang wajar.






BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
     Penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, mengatasi ketegangan, frustasi, serta konflik dengan memperhatikan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia hidup.
      Karakteristik penyesuaian diri remaja menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2011:179), ada tujuh karakteristik :
1.      Penyesuaian diri remaja terhadap peran dan identitasnya
2.      Penyesuaian diri remaja terhadap pendidikan
3.      Penyesuaian diri remaja terhadap kehidupan Seks
4.      Penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial
5.      Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan waktu luang
6.      Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan uang
7.      Penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan, konflik, dan frustasi  

     Penyesuaian diri secara positif
1.      Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan
2.      Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme pertanyaan yang salah
3.      Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi
4.      Memiliki pertimbangan yang rasional dalam pengarahan diri
5.      Mampu belajar dari pengalaman
6.      Bersikap realistik dan objektif

Penyesuaian diri yang negatif
1.      Reaksi bertahan (Defence Reaction)
2.      Reaksi menyerang (Aggressive Reaction)
3.      Reaksi melarikan diri (Escape Reaction)

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri
1.    Kondisi jasmaniah
2.    Perkembangan, kematangan dan penyesuaian diri
3.    Penentu psikologis terhadap penyesuaian diri
4.    Lingkungan sebagai penentu penyesuaian diri
5.    Kultural dan agama sebagai penentu penyesuaian diri   




DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Syarif. 2014. Perkembangan Peserta Didik. Tangerang : PT Pustaka  Mandri.

Sunarto dan Hartono, Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :  Rineka Cipta. 

















Wednesday, June 22, 2016

Makalah Psikolinguistik (Pembelajaran Bahasa)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
                 Pembelajaran bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya (B1). Untuk masalah yang dibicarakan ini ada pakar yang menyebut dengan istilah pembelajaran bahasa (language learning) dan ada pula yang menyebut pemerolehan bahasa (language acquisition) kedua. Istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah. Bagi mereka yang mengunakan istilah pemerolehan bahasa kedua (ketiga, dan seterusnya) beranggapan bahwa bahasa kedua itu juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan. Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual pemerolehan bahasa kedua secara informal ini bisa saja terjadi, seperti di daerah-daerah pinggiran Jakarta di mana bahasa Melayu Betawi bertumpang tindih dengan bahasa Sunda, membuat banyak kanak-kanak sekaligus memperoleh kemampuan berbahasa Melayu dialek jakarta dan berbahasa Sunda.
                 Penggunaan istilah bahasa ibu perlu dilakukan dengan hati-hati sebab banyak kasus terjadi, terutama di kota besar yang multilingual seperti Jakarta, bahasa-ibu seseorang bukanlah bahasa yang digunakan atau dikuasai si ibu sejak lahir. Di Jakarta banyak pasangan suami istri, yang bila berdua saja menggunakan bahasa daerah, tetapi bila ada kanak-kanaknya mereka menggunakan bahasa indonesia. Dengan demikian bahasa-ibu atau bahasa pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan bukan bahasa yang digunakan oleh ibu dan bapaknya. Jadi, sebenarnya penggunaan istilah bahasa pertama akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu.   
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja tipe pembelajaran bahasa ?
2.      Apa yang terdapat dalam sejarah pembelajaran bahasa ?
3.      Apa saja hipotesis-hipotesis pembelajaran bahasa ?
4.      Faktor apa yang terdapat dalam pembelajaran bahasa kedua ?
5.      Apa yang dimaksud dengan transfer dan interferensi ?

C.    Tujuan
Mengetahui dan memahami tipe pembelajaran bahasa, sejarah pembelajaran bahasa, hipotesis-hipotesis pembelajaran bahasa, faktor pembelajaran bahasa kedua serta pengertian transer dan interferensi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dua Tipe Pembelajaran Bahasa
           Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Pertama tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama yang berlangsungnya secara alamiah di dalam lingkungan keluarga atau lingkungan tempat tinggal.
           Tipe kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal dalam kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.

B.     Sejarah Pembelajaran Bahasa  
           Menurut Nurrhadi (1990) dalam sejarah perkembangannya ada empat tahap penting yang dapat diamati sejak 1880 sampai dasawarsa 80-an. Tahap pertama adalah periode antara 1880-1920. Pada tahap ini terjadi rekonstruksi bentuk-bentuk metode langsung yang pernah digunakan atau dikembangkan pada zaman Yunani dulu. Metode langsung yang pernah digunakan pada awal abad-abad Masehi direkonstruksi dan diterapkan di sekolah-sekolah (biasanya sekolah biara). Selain itu, dikembangkan juga metode bunyi (phonetic method)  yang juga berasal dari Yunani
           Tahap kedua adalah masa antara tahun 1920-1940. Pada masa ini di Amerika dan Kanada terbentuk forum belajar bahasa asing yang kemudian menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi.
Tahap ketiga, adalah masa antara tahun 1940-1970 yang kemunculannya dilatarbelakangi oleh situasi peperangan (Perang Dunia II), di mana orang berikhtiar mencari metode belajar bahasa asingyang paling cepat dan efisien untuk dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bertikai. Tahap ini secara teori dibagi 4 periode, yaitu :
1.      Periode 1940-1950, ditandai dengan lahirnya metode yang dikenal dengan nama American Army Method, yang lahir dari markas militer Amerika, untuk keperluan ekspansi perang. Pada periode ini dalam dunia linguistik muncul juga pendekatan baru yang disebut dengan nama pendekatan linguistik. Pendekatan ini merupakan imbas dari lahirnya pandangan strukturalis dalam bidang kebahasaan.
2.      Periode 1950-1960,  ditandai dengan munculnya metode audiolingual di Amerika dan metode audiovisual di Inggris dan Perancis, sebagai akibat langsung dari keberhasilan American Ermy Method. Metode audiovisual dan audiolingual ini lahir dari pandangan kaum behavioris dan akibat adanya penemuan alat-alat bantu belajar bahasa. Yang menjadi landasan adalah teori Stimulus-Responsnya B.F. Skinner.
3.      Periode ketiga 1960-1970, merupakan awal runtuhnya metode audiolingual dan audiovisual, dan mulai populernya aalis kontrastif, yang berusaha mencari landasan teori dalam pengajaran bahasa.
4.      Periode keempat 1970-1980, merupakan periode yang paling inovatif dalam pembelajaran bahasa kedua. Konsep dan hakikat belajar bahasa dirumuskan kembali, kemudian diarahkan pada pengembangan sebuah model pembelajaran yang efektif dan efisien yang dilandasi oleh teori yang kokoh.   
C.    Hipotesis-hipotesis Pembelajaran Bahasa
           Pembelajaran bahasa sampai saat ini belum secara mantap bisa disebut sebagai teori karena belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu, masih lebih umum disebut sebagai suatu hipotesis. Di antara hipotesis-hipotesis itu yang perlu diketengahkan, yaitu :

a.       Hipotesis kesamaan antara B1 dan B2
     Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2. Kesamaan itu terletak pada urutan pemerolehan struktur bahasa, seperti modus interogasi, negasi dan morfem-morfem gramatikal.
b.      Hipotesis kontrastif
     Hipotesis ini dikembangkan oleh charles Fries (1945) dan Robert Lado (1975). Hipotesis ini menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat dalam belajar B2 adalah karena adanya perbedaan antara B1 dan B2. Sedangkan kemudahan dalam belajar B2 disebabkan oleh adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi, adanya perbedaan antara B1 dan B2 akan menimbulkan kesulitan dalam belajar B2, yang mungkin juga akan menimbulkan kesalahan, sedangkan adanya persamaan antara B1 dan B2 akan menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar B2.
c.       Hipotesis Krashen
     Berkenaan dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Krashen mengajukan sembilan buah hipotesis yang saling berkaitan. Kesembilan hipotesis itu adalah :
1.      Hipotesis Pemerolehan dan Belajar
Pemerolehan adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah dan terjadi tanpa kehendak yang terencana. Proses pemerolehan tidak melalui usaha belajar yang formal. Sebaliknya, yang dimaksud dengan belajar adalah usaha sadar untuk secara formal dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenaan dengan kaidah-kaidah bahasa. Belajar terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
2.      Hipotesis Urutan Alamiah
Proses pemerolehan bahasa kanak-kanak memperoleh unsur-unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksikan. Urutan ini bersifat alamiah. Hasil penelitian menunjukkan adanya pola pemerolehan unsur-unsur bahasa yang relatif stabil untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
3.      Hipotesis Monitor
Hipotesis monitor menyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar dan proses bawah sadar menghasilkan pemerolehan. Semua kaidah tata bahasa yang kita hafalkan tidak selalu membantu kelancaran dalam berbicara. Kaidah tata bahasa yang kita kuasai ini hanya berfungsi sebagai monitor saja dalam pelaksanaan berbahasa. Jadi, ada hubungan yang erat antara hipotesis monitor ini dengan hipotesis pertama (tentang pemerolehan dan belajar). Pemerolehan akan menghasilkan pengetahuan implisit, sedangkan belajar akan menghasilkan pengetahuan eksplisit tentang aturan-aturan tata bahasa.
4.      Hipotesis Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa melalui masukan yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukannya pada bentuk. Hal ini berlaku bagi semua orang dewasa maupun kanak-kanak, yang sedang belajar bahasa.    
5.      Hipotesis Afektif (Sikap)
Orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan lebih baikdibandingkan orang dengan kepribadian dan sikap yang lain. Sesorang dengan kepribadian terbuka dan hangat akan lebih berhasil dalam belajar bahasa kedua dibandinhkan dengan orang dengan kepribadian yang agak tertutup.
6.      Hipotesis Pembawaan (Bakat)
Bakat bahasa mempunyai hubungan yang jelas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen menyatakan bahwa sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua, sedangkan bakat berhubungan dengan belajar.
7.      Hipotesis Filter Afektif
Sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehingga seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperoleh bahasa kedua. Filter itu dapat berupa kepercayaan diri yang kurang, situasi yang menegangkan, sikap defensif, dan sebagainya, yang dapat mengurangi kesempatan bagi masukan untuk masuk ke dalam sistem bahasa yang dimiliki seseorang. Filter afektif ini lazim juga disebut mental block.
8.      Hipotesis Bahasa Pertama
Bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika seorang anak pada tahap permulaan belajar bahasa kedua dipaksa untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa pertamanya.
9.      Hipotesis Variasi Individual Pengguna Monitor
Hipotesis ini, yang berkaitan dengan hipotesis ketiga (hipotesis monitor), menyatakan bahwa cara seseorang memonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada yang terus-menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak pernah menggunakannya. Namun, diantara keduanya ada pula yang menggunakan monitor itu sesuai dengan keperluan atau kesempatan untuk menggunakannya.
d.      Hipotesis Bahasa-Antara
     Bahasa antara (Interlanguage) adalah bahasa ujaran atau ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahasa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki ciri bahasa pertama dan ciri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Bahasa antara ini merupakan produk dari strategi sesorang dalam belajar bahasa kedua. Artinya, bahasa ini merupakan kumpulan atau akumulasi yang terus menerus dari suatu proses pembentukan penguasaan bahasa.
e.       Hipotesis Pijinisasi
     Dalam proses belajar bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara terbentukjuga yang disebut bahasa pijin (pidgin), yakni sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu yang berada di dalam dua bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing-masing memiliki bahasa sendiri. Jadi bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli.       
D. Faktor-faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
1.      Faktor Motivasi
        Dalam pembelajaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam belajar bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan, atau motivasi itu.
        Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa kedua, motivasi itu mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi integratif dan fungsi instrumental. Motivasi berfungsi integratif kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu. Sedangkan motivasi berfungsi instrumental kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat

2.      Faktor Usia
        Ada anggapan umum dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibvandingkan dengan orang dewasa (Bambang Djunaidi, 1990). Anggapan ini telah mengarah pada adanya hipotesis mengenai usia kritis (Lenneberg, 1967; Oyama, 1976) untuk belajar bahasa kedua.
                        Namun, hasil penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua ini menunjukkan hal berikut.
a.       Dalam hal urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab urutan pemerolehan oleh kanak-kanak dan orang dewasa tampaknya sama saja (Fathman, 1975; Dulay, Burt, dan Krashen, 1982).
b.      Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan : (1) anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan. (2) orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada aknak-kanak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling tidak pada permulaan masa belajar. (3) kanak-kanak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat (Oyama, 1976; Dulay, Burt, dan Krashen. 1982; Asher dan Gracia, 1969).

                        Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa faktor umur, yang tidak dipisahkan dari faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran bahasa kedua.

3.      Faktor penyajian formal
        Pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa secara formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga keadaan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara formal, di dalam kelas, sangat berbeda dengan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara naturalistik.
        Steiberg (1979; 166) menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas atas lima segi berikut.
a.    Lingkungan pembelajaran bahasa di kelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas yang meliputi penyesuaian-penyesuaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan
b.    Di lingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik yang dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang digunakan
c.    Di lingkungan kelas disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan alamiah.
d.   Di lingkungan kelas sering disajikan data dan situasi bahasa yang artifisial, tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah.
e.    Di lingkungan kelas disediakan alat-alat pengajaran seperti  buku teks, buku penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus diselesaikan dan sebagainya.
               Dengan kondisi lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa kedua, maka tentunya ada pengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa kedua, yang dapat di perinci dalam hal sebagai berikut.
a.       Pengaruh terhadap kompetensi
Lingkungan formal di kelas cenderung berfokus pada penguasaan kaidah-kaidah dan bentuk-bentuk bahasa secara sadar, misalnya, dalam pembelajaran bahasa inggris siswa diajak menguasai bagaimana penggunaan partikel a dan an, bagaimana penggunaan preposisi at, in, dan on, atau bagaimana menggunakan kata some dan any, dan sebagainya. Namun, penggunaan kopetensi ini sangat dipengaruhi oleh peran yang dimainkan pembelajar dalam lingkungan formal pembelajaran itu.

b.      Pengaruh terhadap Kualitas Performansi
        Seperti sudah disebutkan bahwa performansi merupakan realisasi kompetensi kebahasaan yang dimiliki seseorang (Ellis, 1986:5-6). Pembelajaran bahasa secara formal di dalam kelas dapat menjamin kualitas input yang diterima pembelajar (Ellis, 1986:231). Lalu, apabila input yang diterima itu berkualitas tinggi, maka menurut satu hipotesis, keluaran (performansi) yang dihasilkan juga mempunyai kualitas tinggi, meskipun diakui adanya variasi individual. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dulay dkk. (1982 : 13) bahwa kualitas lingkungan mempengaruhi hasil pembelajaran bahasa kedua.

c.       Pengaruh terhadap Urutan Pemerolehan
         Yang dimaksud dengan urutan pemerolehan di sini adalah pemerolehan morfem gramatikal. Menurut beberapa pakar, seperti Ellis (1984), Makino (1979), Felix (1981), bahwa urutan pemerolehan morfem gramatikal pembelajaran yang mendapat pembelajaran bahasa secara formal tidak berbeda dengan mereka yang belajar secara alami (naturalistik). Namun, hasil penelitian pengaruh pembelajaran bahasa secara formal terhadap urutan pemerolehan ini menunjukan kesimpulan yang berbeda.

d.      Pengaruh terhadap Kecepatan Pemerolehan
         Kecepatan pemerolehan adalah kecepatan menangkap masukkan (input) dan menjadikan masukkan itu sebagai pembendaharaan kebahasaannya. Kecepatan pemerolehan ini sebenarnya bersifat relatif, dan banyak tergantung pada faktor lain seperti inteligensi, sikap, bakat, motivasi (Ellia, 1986: 99-126)

4.      Faktor Bahasa Pertama
            Para pakar pembelajar bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar. Malah bahasa pertamma ini telah lama dianggap menjadi pengganggu di dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal ini karena bisa terjadi seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah interferensi, alih kode, campur kode.

a.              Menurut teori stimulus-respons yang dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa dalah hasil perilaku stimulus-respons. Maka apabila seorang pembelajar ingin memperbanyak penggunaan ujaran, dia harus memperbanyak penerimaan stimulus. Oleh karena itu, peranan lingkungan sebagai sumber datangnya stimulus menjadi dominan dan sangat penting di dalam membantu proses pembelajaran bahasa kedua.
b.              Teori kontransif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya olehsi pembelajaran (Klein, 1986:5). Berbahasa kedua adalah suatu proses transferisasi. Maka, jika struktur bahasa yang sudah dikuasai (bahasa pertama) banyak mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari, akan terjadilah semacam pemudahan dalam proses transferisasinya. Sebaliknya, jika struktur keduanya memiliki perbedaan, maka akan terjadilahkesulitan bagi pembelajar untuk mengusai bahasa kedua itu.

5.      Faktor Lingkungan
            Dulay (1985: 14) menerangkan bahwa kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Yang dimaksud dengan lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa kedua yang sedang dipelajari (Tjihjono, 1990) yang termasuk dalam lingkungan bahasa adalah situasi di restoran atau di toko, percakapan dengan kawan-kawan dan sebagainya.

       Lingkungan bahasa ini dapat dibedakan atas lingkungan formal dan lingkungan informal.
a.       Pengaruh Lingkungan Formal
Lingkungan formal adalah salah satu lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa yang sedang dipelajari secara sadar. Sehubungan dengan ini Krashen (1983: 36) menyatakakn bahwa lingkungan formal bahasa ini memiliki ciri yaitu bersifat artifisial, merupakan bagian dari keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah atau di kelas, dan di dalamnya pengajaran diarahkan untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang telah dipelajarinya.
b.      Pengaruh Lingkungan Informal
Lingkungan informal bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat. Yang termasuk lingkungan informal ini antara lain bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa pengasuh atau orang tua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis pembelajar. Secara umum dapat dikatakan lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap hasil belajar bahasa kedua para pembelajar.

E. Transfer dan Interferensi

                   Telah disinggung bahwa dalam pembelajaran bahasa kedua, bahasa pertama “dapat mengganggu” pengguna bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan pengguna bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian sosiolinguistik disebut intreferensi, campur kode, dan kekhilafan (error). Penggunaan atau pentransferan unsur-unsur bahasa pertama ini lama-kelamaan akan berkurang, dan mungkin juga menghilang, sejalan dengan taraf kemampuan terhadap bahasa kedua itu.
            Dalam bahasa Indonesia interferensi pada tataran fonologi dilakukan, misalnya oleh para penutur bahasa indonesia yang berasal dari Bali selalu mengucapkan fonem apikoalveolar [t] menjadi bunyi apikoalveolar retrofleks [t].
                   Interferensi dalam bidang morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Umpamanya dalam bahasa Belanda dan Inggris ada sufiksisasi. Maka banyak penutur bahasa Indonesia menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia seperti neonisasi, tendanisasi, dan turinisasi. Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia sebab untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi bentuk tresebut seharusnya adalah peneonan, penendaan, dan penurian.
                   Kiranya interferensi yang tampak menonjol adalah pada tataran fonologi dan leksikon. Kita dengan mudah dapat menebak seseorang berasal dari mana dengan menyimak lafal dan kosakata yang digunakan dalam berbahasa kedua.
                   Dewasa ini banyak orang Indonesia dalam berbahasa indonesia menyelipkan sejumlah butir leksikal bahasa asing (Inggris, Arab, dan sebagainya). Hal ini juga merupakan suatu transfer yang dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan dua alasan : pertama karena dia tidak tahu padanannya dalam bahasa Indonesia, dan kedua sebagai sarana gengsi, untuk memberi kesan bahwa dia orang “pandai”. Penggunaan unsur leksikal asing ini dalam bahasa Indonesia bukanlah suatu transfer karena bahasa asing itu bukan bahasa pertama si pembicara  itu.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
             Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Pertama tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Tipe kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan.
Hipotesis-hipotesis Pembelajaran Bahasa, yaitu :
a.       Hipotesis kesamaan antara B1 dan B2
b.      Hipotesis kontrastif
c.       Hipotesis Krashen
Faktor-faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua, yaitu :
1.      Faktor motivasi
2.      Faktor usia
3.      Faktor penyajian formal
4.      Faktor bahasa pertama
5.      Faktor Lingkungan


DAFTAR PUSTAKA

                       Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguitik. Jakarta : Rineka Cipta.