Saturday, March 25, 2017

Makalah Pengantar Kesusastraan Indonesia Modern

     
   
              BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.
Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan Indonesia, mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai dengan masa perkembangannya. Munculnya sastra di Indonesia sebagai salah satu bukti perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan. Diawali dari berdirinya Boedi Oetomo hingga Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda juga disebutkan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa.
Berbicara tentang sejarah perkembangan sastra, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai upaya menyusun periodisasi sejarah sastra sebagai salah satu kegiatan dalam pengkajian sejarah sastra. Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sementara itu pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka.
Didalam masyarakat khususnya masyarakat sastra, istilah angkatan dan periode amat banyak digunakan. Akan tetapi, pengertian kedua istilah itu sering dicampuradukkan. Untuk keseragaman periodisasi kiranya kedua istilah tersebut perlu diperjelas perbedaan pengertiannya. Periode adalah sekedar kesatuan waktu dalam perkembangan sastra yang dikuasai oleh suatu sistem norma tertentu ada kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara pengucapan yang khas serta berbeda dengan masa sebelumnya.




1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud sastra Indonesia modern?
2.      Apa ciri-ciri dari Sastra Indonesia Modern?
3.      Apa Perbedaan yang mendasar antara Sastra Indonesia Klasik dengan Sastra Indonesia Modern?  
4.      Apa saja pembabakan periode sastra Indonesia klasik?

1.3  Tujuan

1.      Dapat memahami mengenai sastra Indonesia modern
2.      Dapat mengetahui pembabakan periode sastra Indonesia Klasik

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Batasan Definisi Sastra Indonesia Modern
           
            Kata modern pada sastra Indonesia modern dipergunakan tidak dalam pertentangan kata klasik. Bahkan sebenarnya, istilah sastra Indonesia klasik sebagai pertentangan dengan sastra Indonesia modern tidak ada. Kata modern dipergunakan sekedar menunjukkan betapa intensifnya pengaruh Barat pada perkembangan dan kehidupan kesusastraan pada masa itu. Sebelum berkembangnya sastra Indonesia modern kita mengenal sastra Melayu lama/ klasik untuk membedakan dengan sastra Melayu modern yang berkembang di Malaysia.
            Ada beberapa pendapat mengenai apa yang disebut sastra Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa suatu karya sastra dapat dinamakan dan digolongkan ke dalam pengertian sastra Indonesia apabila:
a. Ditulis buat pertama kalinya dalam bahasa Indonesia;
b. Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya haruslah masalah Indonesia;
c. Pengarangnya haruslah bangsa Indonesia (Soemawidagdo, 1966: 62).
Berdasarkan pendapat di atas, pengertian sastra Indonesia mencakup tiga unsur persyaratan, yaitu bahasa, masalah yang dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah “sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat sastra dan bahasa erat saling berjalin” (Enre, 1963: 10).
            Sastra Modern adalah karya sastra yang dibentuk oleh unsur intrinsik dan Menggunakan bahasa atau kata yang terpilih, diksi yang tepat. Mempunyai bahasa tuturan dan dialog (dalam prosa dan drama) yang Bertujuan untuk dibaca atau didengar orang lain agar mereka mendapat hiburan dan nasihat
     





2.2 Ciri-Ciri Sastra Indonesia Modern
1.       Bentuk karya sastra baru berupa puisi bebas dan kontemporer, seperti cerpen, novel, drama Indonesia.
  1. Bahasa yang digunakan menggunakan bahasa keseharian dan sering dimasuki bahasa asing kreatif.
  2. Tema yang diangkat seputar kemanusiaan, kemasyarakatan, kehidupan modern, pergaulan remaja,dll
  3. latar belakang penciptaan terpengaruh kesusastraan barat, Budaya industri modern, hak cipta pengarang individu.
  4. Perkembangannya bersifat dinamis, melalui media cetak dan audiovisual.

2.3 Perbedaan Sastra Klasik dan Sastra Modern

Sastra Klasik
a. puisi berbentuk terikat dan kaku
b. prasa lama statis
c. kraton sentris
d. prosa hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo, atau dongeng.
e. pembaca dibawa ke alam khayal dan fantasi.
f. kemudian dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan arab
g. cerita sering bersifat anonim ( pengarangnya tidak diketahui).

Sastra Modern
a. puisi bersifat bebas, baik bentuk maupun isinya
b. prasa baru dinamis
c. masyarakat sentris
d. bentuknya roman, novel, cerpen, drama
e. berlandas pada dunia nyata, berdasarkan kenyataan dan kebenaran
f. Terutama dipengaruhi oleh kesusastraan barat
g. Diketahui siapa pengarangnya






2.4  Pembabakan Periode Sastra Indonesia Klasik

Sastra lama (sastra kuna atau klasik) …. ± 1800
Sastra yang dihasilkan sebelum Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dimasukkan kedalam suatu golongan yang dinamai Sastra Lama Atau Sastra Kuna Atau Sastra Klasik. Orang tidak dapat memastikan sejak kapankah sastra lama mulai ada. Tetapi mengingat bahwa suatu keindahan hanya mungkin dihasilkan manusia yang sudah beradab, kiranya dapat ditentukan bahwa sastra lama mulai ada sejak permulaan peradaban bangsa Indonesia.
Sastra lama memancarkan semangat Animisme atau Dinamisme, Hinduisme dan  Islamisme. Kepercayaan atau agama yang baru tidak berhasil melenyapkan pengaruh kepercayaan atau agama yang mendahuluinya, sehingga kebudayaan yang baru selalu mengandung unsur-unsur kebudayaan yang terdahulu. Hal itu  nyata jika kita perhatikan kehidupan masyarakat pada zaman sekarang. Pengaruh Animisme atau Dinamisme yang sudah amat tua itu hingga kini masih tetap terasa dalam kehidupan masyarakan modern.
Ketiga jenis semangat tersebut itulah yang menyebabkan sastra lama terbagi atas tiga periode, yakni: (1) sastra masa purba, (2) sastra masa hindu, dan (3) sastra masa islam.  

1.  Sastra masa purba (…..± 500)
Sastra masa purba ialah sastra yang tumbuh dan berkembang sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia yang mendiami tanah air Indonesia mulai beradab sampai kedatangan bangsa hindu. Bentuk pemakaian sastra pada masa purba berupa sastra lisankarena waktu itu orang belum mengenal tulisan.
Sastra masa purba memancarkan semangat Animisme dan Dinamisme. Hasil karya sastra masa purba pada permulaanya tidak dipakai orang untuk menghibur diri, tetapi dipergunakan sebagai medium untuk berhubungan dengan roh-roh nenek moyang yang menurut anggapan masyrakat pada masa itu bersarang dimana-mana.
     
      Contohnya : dongeng tentang pohon gadung dan jagung, cerita tentang pak pander dsb.


2.  Sastra masa hindu (± 500 - ± 1450)
Kira-kira tahun 500 di Indonesia sudah mulai kelihatan adanya sastra tertulis. Orang sudah mulai mengenal tulisan setelah bangsa hindu datang ke Indonesia. Tetapi perlu kiranya diingat bahwa orang yang mengenal tulisan pada waktu itu tidak banyak jumlahnya, yakni hanya kalangan atas, misalnya raja-raja, pendeta-pendeta dan sebagian kecil oaring kebanyakan, sedangkan orang-orang kebanyakan yang lain lebih besar jumlahnya masih belum mengelan tulisan.
Bangsa Hindu yang mula-mula datang ke Indonesia semata-mata untuk berdagang, ternyata dapat menanamkan kebudayaannya hingga dalam sekali pada masyarakat Indonesia. Sistem feodalisme yang dibawanya kemari makin bertambah kuat kedudukannya. Sejak itulah kebudayaan berpusat pada keratin, sehingga sudah barang tertentu sastranya pun bersifat istana sentries. Sastra hindu pada masa itu mendapat tempat utama.
Perlu kiranya di ingat pula bahwa walaupun pada masa itu boleh dikatakan sudah ada sastra tertulis, namun sastra tersebut hanya didapati orang pada prasasti-prasasti (batu tertulis) peninggalan raja-raja, misalnya prasasti-prasasti yang terdapat di Kutai, di Jawa Barat dekat Citarum, dan lain sebagainya.
Sastra tertulis yang berupa buku-buku hanyalah yang berasal dari sastra Hindu. Dalam masyarakat melayu, cerita-cerita yang berasal dari buku-buku tersebut telah berabad-abad lamanya hidup dan menjadi milik masyarakat. Jalan ceritanya sudah banyaka yang mengalami perubahan, lebih-lebih mengenai para pelakunya, sedangkan isinya sering disesuaikan dengan keadaan di tanah Melayu.

Contoh : Hikayat pandawa lima, Balakanda, Ayodyakanda.









3. Sastra masa Islam (± 1450 - ± 1800)
Sastra Islam ialah sastra Indonesia yang sudah kena pengaruh agama islam setelah agama itu masuk ke Indonesia. Agama islam masuk ke Indonesia, sedangkan penyebarnya adala orang-orang Gujarat. Itulah pula sebabnya mengapa dalam sastra yang bercorak islam sering masih terasa adanya pengaruh persi.
Sistem feodalisme masih tetap bertahan, hanya sekarang yang memegang peranan dalam sastra bukan lagi raja-raja Indonesia-Hindu, melainkan Indonesia-Islam dengan menampilkan pahlawan-pahlawan islam, serta penjelasan mengenai peraturan-peraturan dalam agama islam.
Sifat satra indonesiapun pada waktu itu berubah menjadi ke arab-araban. Orang-orang melayu bahkan menganggap Huruf Arab sebagai huruf mereka sendiri, yakni yang dinamai Huruf Arab Melayu atau Huruf Jawi. Atas dasar itu pulalah maka tidak sedikit buku-buku sastra Indonesia pada waktu itu yang memakai tulisan Jawi.  
       
Contoh: Cerita Tun Muhammad atau Tun Seri Lanang, Cerita Hamzah  Fansuri, Cerita Syamsuddin Al Sumatrani.



















BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

            Sastra Modern adalah karya sastra yang dibentuk oleh unsur intrinsik dan Menggunakan bahasa atau kata yang terpilih, diksi yang tepat. Mempunyai bahasa tuturan dan dialog (dalam prosa dan drama) yang Bertujuan untuk dibaca atau didengar orang lain agar mereka mendapat hiburan dan nasihat.
Adapun Ciri-Ciri Sastra Indonesia Modern
1.       Bentuk karya sastra baru berupa puisi bebas dan kontemporer, seperti cerpen, novel, dram Indonesia.
  1. Bahasa yang digunakan menggunakan bahasa keseharian dan sering dimasuki bahasa asing kreatif.
  2. Tema yang diangkat seputar kemanusiaan, kemasyarakatan, kehidupan modern, pergaulan remaja,dll
  3. latar belakang penciptaan terpengaruh kesusastraan barat, Budaya industri modern, hak cipta pengarang individu.
  4. Perkembangannya bersifat dinamis, melalui media cetak dan audiovisual.
Pembabakan Periode Sastra Indonesia Klasik terbagi atas :
1.      Sastra masa purba (…..± 500)
2.      Sastra masa hindu (± 500 - ± 1450)
3.      Sastra masa Islam (± 1450 - ± 1800)





 DAFTAR PUSTAKA



https://sastra100km.wordpress.com/2014/04/30/masa-permulaan-sastra-indonesia-modern/

Erowati, Rosida. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.





Makalah Aliran Sastra


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Aliran-aliran dalam kesusastraan memiliki kesamaan dengan aliran dalam kesenian yang lain, misalnya dalam seni lukis, seni drama, bahkan dalam dunia filsafat dan kehidupan sosial. Aliran dalam kesusastraan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan pengarang dan penyair, serta biasanya terekspresikan dalam karya-karya mereka. Artinya, kita memasukkan seorang sastrawan atau sastrawati ke dalam aliran tertentu,  hendaknya berdasarkan buah cipta mereka.
Dengan demikian, seorang pengarang bisa dimasukkan ke dalam beberapa aliran, karena corak karyanya yang bermacam-macam. Sementara itu, sebuah novel, cerpen, puisi  atau teks drama bisa dijadikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa seorang pengarang menganut beberapa aliran. Di Indonesia sebenarnya adanya aliran yang secara sadar diperjuangkan untuk menentang paham atau aliran sebelumnya belum banyak terjadi. Hal ini salah satu di antaranya disebabkan oleh usia sejarah sastra Indonesia yang belum begitu lama.
  
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian aliran sastra?
2. Apa saja jenis-jenis aliran sastra?
3. Apa saja ciri dari masing-masing aliran sastra?
4. Apa saja contoh dari masing-masing aliran sastra?

C. Tujuan
            Mahasiswa atau pembaca mampu mengetahui serta memahami aliran dalam  kesusastraan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aliran Sastra
Aliran sastra berasal dari kata Stroming ( bahasa Belanda ) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman pujangga baru. Kata itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama.
Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap atau jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.

2.2 Jenis-Jenis Aliran Sastra
A.    ROMANTISME
Romantisme adalah aliran sastra yang mengutamakan perasaan. Sastra romantisme ditandai dengan ciri-ciri : keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada sifat-sifat yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia. Istilah ini juga mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang terkadang melahirkan manusia-manusia besar.
Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat dikuasai oleh perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga tokoh-tokoh yang tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka itu kemudian ada yang lari ke gunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakannya jauh dari kekerasan hidup.
Contoh karya sastra pada Aliran Romantik :
- SITI NURBAYA karya MARAH RUSLI.
- PERTEMUAN JODOH karya ABDUL MUIS.

B.     EKSPRESIONISME
Ekspresionisme adalah aliran yang mengutamakan pernyataan jiwa pengarang serta mengekspresikan pandangan seni mereka atau emosi secara kuat. Ekspresionisme tidak pernah merupakan suatu gerakan yang dirancang secara baik. Dapat dikatakan bahwa, ciri utama ekspresionisme yaitu pemberontakan melawan tradisi realisme dalam bidang sastra dan seni, baik dalam hal pokok persoalannya maupun gayanya.
Contoh karya sastra pada aliran ekspresionisme :
-Puisi AKU karya CHAIRIL ANWAR
  
C.    SIMBOLISME
Pengungkapan simbolis tidak secara harfiah, melainkan dengan simbol-simbol. Sebuah simbol berarti sesuatu yang bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai simbol dari kecantikan.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap  realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan semata. Sastra simbolik banyak menggunakan simbol atau lambang dalam mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan misterius.
Contoh karya sastra Aliran Simbolisme :
- TINJAULAH DUNIA SANA karya MARIA AMIN 
D.    IDEALISME
Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, Aliran dalam kesusastraan yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita. Mereka berpendapat, bahwa sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis. diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi rajin, dan seterusnya.
Contoh karya sastra Aliran Idealisme :
- CANDI karya SANUSI PANE.
  
E.     SUREALISME
Aliran yang terlalu mengagungkan kebebasan kreatif dan berimajinasi sehingga hasil yang dicapai menjadi antilogika dan antirealitas. Bisa jadi apa yang terungkap itu pada mulanya berangkat dari kenyataan sekitar, tetapi karena desain imajinasinya itu sudah demikian sarat, kuat dan jauh, ia terasa ekstrim dan radikal. Ada semacam keadaan trans (hanyut/kesurupan) di sana, sesuatu yang tidak kita temukan dalam realisme maupun naturalisme
Contoh karya satra pada Aliran Surrealisme :
- ZIARAH karya IWAN SIMATUMPANG.
- RADIO MASYARAKAT karya  ROSIHAN ANWAR

F.     MISTISME
Aliran mistisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa suatu keadaan yang merasa dekat kepada tuhan atau merasa bersatu dengan tuhan dan kebenaran yang paling tinggi. Dengan kata lain mistisme mrupakan aliran yang menggambarkan tentang hubungan manusia dengan tuhan.
Contoh karya sastra Aliran Mistisme adalah :
- Puisi DOA karya LEA CONCERINA

G.    REALISME
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, album kisah nyata, roman sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa yang memikat. 
Contoh karya sastra Aliran realisme ini adalah :
- Novel PADA SEBUAH KAPAL karya N. H. DINI.
- KOTA HARMONI karya IDRUS.

H.    NATURALISME
Aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Pornografi, karya mereka jatuh menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya, hal ini benar-benar mereka sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan naturalisme ini sebagai gaya mereka.
Contoh karya sastra pada Aliran Naturalisme ini adalah :
- BELENGGU karya ARMYN PANE.
- SURABAYA karya IDRUS


BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
Aliran sastra merupakan pandangan atau haluan yang mempengaruhi jiwa pengarang dalam membuat suatu karya sastra. Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap atau jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Dalam aliran sastra terdapat beberapa macam diantaranya :
Romantisme, Ekspresionisme,  Simbolisme, Idealisme, Surrealisme, Mistisme, Realisme, Naturalisme,






DAFTAR PUSTAKA


Thursday, October 20, 2016

Makalah Sastra Bandingan (Metode Penelitian Sastra Banding)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
     Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Penekanan sastra bandingan adalah pada aspek kesejarahan teks. Itulah sebabnya sastra bandingan bersifat positivistik. Kajiannya bercorak binari (duaan) dan bertumpu pada rapport defaits, artinya perhubungan faktual antara dua buah teks yang diteliti secara pasti. Kegiatan yang dilakukan juga menganalisis, menafsirkan dan menilai karena objeknya lebih dari satu, setiap objek harus ditelaah, barulah hasil telaah tersebut diperban     dingkan. Bisa saja, peneliti melakukan analisis struktural kedua karya, baru diperbandingkan. Dengan cara ini akan mempermudah peneliti melakukan bandingan. Setidaknya akan mudah ditemukan unsur persamaan dan perbedaan setiap karya sastra.
     Penelitian sastra bandingan dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan­-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Namun, periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
     Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-­tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-­teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perspektif dalam sastra banding ?
2.      Apa yang menjadi subjek dan objek sastra bandingan ?
3.      Apa persyaratan objek dan subjek sastra bandingan ?
4.      Apa saja tahap-tahap analisis sastra banding ?

C.    Manfaat
Mengetahui dan mendalami perspektif dalam sastra banding, subjek dan objek sastra bandingan, persyaratan objek dan subjek sastra bandingan dan tahap-tahap analisis sastra banding.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perspektif dalam Penelitian
Perspektif adalah sudut pandang. Perspektif penelitian sastra bandingan terkait dengan sudut pandang apa saja yang digunakan dalam bandingan. Perspektif ini akan menentukan sejumlah paradigma penelitian secara menyeluruh. Perspektif dapat pula disebut sifat dan atau arah studi sastra bandingan.
Sastra bandingan memuat empat perspektif, yakni:
1.      Penelitian yang berperspektif komperatif. Maksudnya, penelitian ini terutama dititikberatkan pada penelaahan teks karya sastra yang dibandingkan, misalnya karya sastra Chairil Anwar dengan karya sastra Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini dapat dikatakan merupakan titik awal munculnya sastra bandingan, karenanya penelitian ini selalu dipandang sebagai bagian terpenting dalam penelitian sastra bandingan. Sastra dengan perspektif serupa ini sekarang banyak diikuti oleh para ilmuwan yang bergerak dibidang filologi, baik modern maupun klasik.
2.      Penelitian yang berperspektif historis. Penelitian yang bersifat historis lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai historis yang melatarbelakangi kaitan satu karya sastra dengan karya sastra lainnya. Penelitian ini dapat berupa masuknya satu ide, aliran, teori kritik sastra, ataupun genre dari satu negara ke negara lainnya. Penelitian semacam ini sering menjadi tumpuan dalam studi sosiologi sastra dan bandingan. Maksudnya, dua atau lebih karya sastra diteliti melalui sosiologi sastra, baru dibandingan satu sama lain.
3.      Penelitian yang berperspektif teoritis. Penelitian ini menggambarkan konsep, kriteria, batasan, ataupun aturan-aturan dalam berbagai bidang kesusastraan. Sebagai contoh adalah konsep-konsep mengenai berbagai aliran, kriteria, genre, teori, pendekatan, serta batasan-batasan yang berkaitan dengan masalah tema. Penelitian semacam ini biasanya dianut oleh seseorang yang hendak memahami karya sastra secara struktural, baik struktural murni, dinamik, maupun semiotik. Karya sastra lebih dahulu dikaji dengan kacamata struktural baru kemudian dibandingkan.
4.      Penelitian yang berperspektif antardisiplin. Penelitian ini sering pula disebut sastra interdisiplin. Penelitian ini memang bukanlah murni penelitian sastra, melainkan berupa penelitian inter dan atau ekstrinsik sastra. Sifat penelitian ini, sesuai dengan istilahnya, tidak menelaah karya-karya sastra semata, melainkan membicarakan juga hubungan isi karya sastra dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan juga karya-karya seni.
Keempat perspektif itu digunakan oleh para pemerhati sastra bandingan. Masing-masing perspektif memiliki aspek dominan dalam hal-hal tertentu, tergantung sasaran dan arahnya. Sasaran dan arah ini dibingkai oleh tujuan dan manfaat yang hendak dipetik dari sastra bandingan. Penelitian sastra bandingan memiliki manfaat besar dalam wilayah nasional ataupun dunia. Pada tataran nasional, sastra bandingan mengarahkan penelaahan atas sastra asing dan membandingkannya dengan sastra umum, mengurangi kadar kefanatikan bahasa dan sastra umum atau pribumi tanpa mencari kebenaran. Fanatisme sastra seringkali mengabaikan sekian banyak karya sastra nasional. Di Indonesia ada kecenderungan, asal ditulis oleh pengarang yang berasal dari pusat kota, dianggap karyanya lebih hebat dari karya pinggiran.
Perpektif demikian juga membuka peluang pemilihan metode sastra bandingan yang tepat. Seorang peneliti sastra bandingan membutuhkan kumpulan pembelajaran yang membantunya mengkaji karya sastra. Ketika peneliti hendak menekankan pada aspek sejarah, misalnya, sastra bandingan menjadi studi sejarah sastra. Dalam hal ini sangat penting peneliti memiliki pengetahuan luas serta memahami perkembangan dan peristiwa sejarah, mengetahui hubungan sosial antar bangsa yang begitu beragam, serta memahami metologi ilmu sejarah. Dalam hal ini ilmu sastra bandingan tetap merupakan cabang ilmu sastra, dan sejarah merupakan bagian terpenting dalam penelitian ini.
Ada beberapa bekal yang patut dipersiapkan oleh peneliti sastra bandingan yang berkaitan dengan perspektif, antara lain sebagai berikut:
a.       Setelah mengerti sejarah, peneliti juga mengetahui perjalanan para tokoh dan studi sample kemanusiaan dalam sastra yang dikenal di setiap bangsa dan sastra itu sendiri.
b.      Mengetahui ragam bahasa sangatlah penting dalam studi sastra bandingan, misalkan bahasa cinta orang Jawa dan Makasar yang memiliki oposisi binar luar biasa. Orang Makasar mengenal oposisi “rumah-merpati”, sedangkan orang Jawa memiliki “tumpeng-apem” sebagai refleksi hubungan seksual. Namun pembahasan tidak dituntut untuk menggunakan seluruh bahasa dalam studi sastra bandingan, karena hal tersebut adalah satu hal yang mustahil, cukup baginya memilih salah satu bahasa yang sekiranya mampu dikuasai dengan baik.
c.       Terjemahan, merupakan ruang lingkup yang baik untuk mengetahui pengaruh sumber-sumber dan karya-karya sastra besar lainnya.
d.      Kunjungan, merupakan satu kegiatan yang memiliki faedah yang besar dalam studi sastra bandingan, karena hubungan antar bangsa membuka peluang untuk satu pemahaman dan tidak mengendalikan pembelajaran dari buku saja.
     Berdasarkan hal diatas, peneliti sastra bandingan dapat memilih perspektif mana yang lebih tepat untuk melakukan studi sastra bandingan. Keterkaitan dengan sasaran dan arah yang hendak dicapai dalam studi ini. Apabila sastra bandingan hanya sekedar untuk penelitian skripsi tentu berbeda dengan perspektif yang digunakan dalam karya tesis atau disertasi, meski objek penelitiannya sama. Penelitian akan menentukan kedalaman dan keluasan studi sastra bandingan. Akan memudahkan langkah strategis dalam menyiapkan metode dan teori yang akan digunakan untuk penelitian. Dan dapat juga memudahkan peneliti menggali objek secara cepat.
  
B.     Menentukan Objek dan Subjek Sastra Bandingan
     Objek adalah “bahan penelitian” yang menjadi fokus sastra bandingan. Objek berkaitan dengan muatan apa yang terdapat dalam sastra, yang dominan dan layak dibandingkan. Persoalan objek sastra bandingan dapat terkait dengan tema, tokoh, aspek sosial, kecerdasan emosi, dan sebagainya. Adapun subjek sastra bandingan berkaitan dengan karya sastra yang dibandingkan, berbentuk novel, cerpen, puisi, dan sebagainya. Subjek juga berhubungan dengan tahun penciptaan karya, karya saduran, terjemahan, dan karya asli.
Sastra bandingan merupakan salah satu ranah studi sastra yang memerlukan objek khusus. Objek ini perlu dipilih atau diseleksi agar penelitian berjan dengan maksimal. Dan sama halnya dengan metode pengumpulan data pada penelitian objek yang lain. Bedanya, sastra bandingan berserakan dimana-mana.
Hingga dewasa ini belum ada metode yang tepat untuk sastra bandingan; masih selalu diraba, ditelusuri, serta trial and error. Baribin (1993:13-15) mencatat dua metode perbandingan yang terkait dengan penentuan objek dan subjek, yaitu:
Ø Sastra bandingan diakronik, apabila yang dibandingkan dua buah karya yang berbeda periode.
Ø Sastra bandingan sinkronik, apabila yang dibandingkan karya sastra dalam periode yang sama.
Paling lazim dan sering digunakan dalam studi sastra adalah metode diakronik, namun metode sinkronik juga tak jarang digunakan. Dengan metode diakronik, sastra bandingan justru akan membuka wawasan kesejarahan kreativitas.
Pergeseran historis sastra bandingnan yang dipelori dua mazbah besar, yaitu Prancis dan Amerika, memegang peran penting dalam penelitian sastra bandingan. Melalui pemikiran Gyard, metode sastra bandingan di Prancis dilakukan untuk melihat sejauh mana keterpengaruhan suatu karya sastra dari karya sastra lainnya. Konsep pengaruh menjadi tumpuan kuat dalam melacak sastra bandingan. Setelah berkembang di Prancis dan Eropa, sastra bandingan juga menjalar ke Amerika. Di negeri adidaya ini aspek pengaruh pun tetap menjadi hal yang penting. Namun di sisi lain, Amerika tampaknya ingin memperluas metode dan wilayah penelitian sastra bandingan. Esensi dan batasan-batasan penelitian sastra bandingan pun bergeser. Sastra bandingan pada mazhab Prancis awalnya hanya membolehkan penelitian karya sastra dengan jenis yang sama, tetapi di Amerika tampaknya melompat ke jalur “luar sastra”.
Dalam mazhab Amerika, sastra bandingan seharusnya tidak terbatas pada sastra dengan sastra saja. Mazhab ini pun memperkenalkan penelitian perbandingan karya sastra dengan disiplin seni lainnya, seperti misalnya puisi dengan lukisan, puisi dengan patung, cerpen dengan lagu, atau puisi dengan seni instalasi. Prancis tentu tidak terlalu senang dengan aturan sastra bandingan versi Amerika. Mereka menyebut mazhab Amerika sudah membuat sastra bandingan kehilangan isi dan tujuan penelitian sastra bandingan. Oleh karena itu, sekarang mazhab Prancis dianggap sebagai aliran klasik, sedangkan mazhab Amerika dianggap sebagai aliran yang lebih modern.
Melalui persandingan sastra dengan non sastra, membangun pemahaman sastra secara utuh, sekalipun metode yang tepat untuk hal itu sedang bertumbuh. Konsep keterpengaruh sastra pada bidang lain atau sebaliknya bisa saja terjadi. Apalagi di jagad multikultural, silang budaya dan silang sastra merupakan hal wajar. Proses keterpengaruhan bisa dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu “yang disengaja” dan “yang tidak disengaja”. Yang disengaja bisa karena terinspirasi, mengutip, menerjemahkan, menyadur, sampai mencontek. Adapun yang tidak disengaja, misalnya terjadi pada pilihan kata, rima, bentuk, atau unsur-unsur lain.
Menentukan objek atau teks yang hendak dibandingkan merupakan tugas awal sastra bandingan. Keberhasilan menentukan objek akan menentang dan menjadi stimulus penting untuk melanjutkannya. Tantawi (2009: 25 Mei, www.ismatantowi.blogspot.com, diunduh 9 februari 2010) menyatakan bahwa sastra bandingan sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji karya sastra. Yang dimaksud dengan mengkaji sastra tidak berarti hanya membicarakan sastra saja. Sastra banding adalah ilmu yang memiliki karangka dan acuan tersendiri untuk mendekati karya sastra. Sebagai ilmu, penuslis setuju perlu adanya metode khusus sastra bandingan, setidaknya penguasaan cabang ilmu sastra dibantu ilmu lain yang serumpun.
Biarpun sastra bandingan merupakan salah satu bidang yang baru di Indonesia, tidak berarti harus lemah dalam pemilihan metode dan objek penelitian. Harus diakui bahwa sampai saat ini belum ada organisasi yang secara khusus mengurusi sastra bandingan, dan belum ada universitas di Indonesia menawarkan jurusan sastra bandingan kepada calon mahasiswa, apalagi sampai yang menghasilkan lulisan yang khusus mengkaji sastra bandingan. Meskipun demikian penulis percaya bahwa sastra bandingan masih menjadi bagian dari jurusan sastra pada umumnya, bahkan sesekali disentuh oleh studi interdisipliner sastra.

C.    Persyaratan Objek dan Subjek Sastra Bandingan
Tidak pernah terbayangkan bahwa tidak semua karya sastra dapat dibandingkan secara acak. Sastra bandingan seharusnya tidak sembarang, melainkan perlu menemukan di antara dua karya atau lebih yang memiliki ciri-ciri kemiripan yang dinamakan varian. Ada tiga syarat utama dalam sastra bandingan, yakni:
1.      Varian bahasa, artinya dua karya yang bahasanya berbeda tetapi memiliki varian tema, latar, tokoh, atau pesan yang lain
2.      Varian wilayah, artinya dua karya atau lebih dari daerah berbeda namun memiliki varian, misalnya ideologi, kultural, judul, dan sebagainya.
3.      Varian politik, artinya dua karya atau lebih melukiskan kekuasaan yang berbeda.
Ketiga syarat di atas tentu  bukan hal yang kaku. Artinya, setiap peneliti boleh saja memiliki persyaratan lain, yang terpenting adalah unsur varian, kemiripan, dan kesenadaan dapat diraih. Unsur-unsur tersebut pada akhirnya untuk menemukan persamaan dan perbedaan. Persamaan mengarah karya yang memang seirama, sedangkan perbedaan mengarah pada orisinalitas karya.
Hal yang paling penting di antara persyaratan di atas adalah hadirnya konteks saling ilham-mengilhami. Ada persentuhan estetik karya yang satu dengan yang lain sehingga memunculkan hal-hal yang mirip. Hal lain yang bisa menjadi pijakan untuk penelitian sastra bandingan adalah jika ditemukan pengarang yang ceroboh, yang dengan sengaja atau tidak sengaja menerjemahkan karya orang lain, meski dengan perubahan beberapa saja, namun diakui sebagai karyanya. Pengarang semacam ini menjadi incaran penelitian sastra bandingan, begitu pula karya sastrawan yang miskin ide dan yang meminjam ide orang lain perlu mendapat tekanan khusus dalam bandingan.
Perlu kecermatan dalam memilih objek dan subjek penelitian. Tiap penelitian harus menyelami sebuah karya sastra hingga menemukan varian dengan karya lain. Remark (dalam Stallkenecht, 1971: 1) memberi rumusan strategi bahwa sastra bandingan merupakan studi yang mencari hubungan antara kesusastraan di satu pihak dan bidang lain, seperti kepercayaan, seni lukis, musik, arsitektur, filsafat, ilmu sosial, dan sejarah. Rumusan ini memberikan penegasan bahwa sastra merupakan karya yang kental nilai kehidupan. Karya sastra menawarkan aneka nilai yang bersumber dari kehidupan. Objek studi diikuti oleh subjek studi, yaitu karya sastra yang relevan dibandingkan. Objek dan subjek sastra banding bersifat terbuka, yang sampai saat ini belum ada rumusan baku. Sastra bandingan dengan sendirinya leluasa, bisa membanding sastra dengan sastra atau sastra dengan bidang lain. Pangkal tolak sastra bandingan adalah menemukan keterkaitan antarunsur yang saling mendukung yang memiliki persaman dan perbedaan. Peneliti dapat menitik beratkan hanya pada satu masalah, misalnya aliran, genre, citraan, atau tema.
Pemilihan objek dan subjek penelitian semestinya melalui pendekatan yang baik. Hal ini kembali pada peneliti dalam mencari dan menggunakan kaidah pendekatan yang paling sesuai dan palinh efektif. Kecenderungan tertentu, seperti menggunakan pendekatan sosiologi bagi karya prosa, atau fonologi bagi puisi, psikologi bagi drama, haruslah diperhatikan sebelum diputuskan. Ada kemungkinan pendekatan yang tidak sesuai untuk karya-karya tertentu karena wujud yang absurditas. Pemilihan pendekatan seringkali lebih sesuai dilakukan setelah mengetahui objek penelitian. Karya-karya Iwan Simatupang, Seno Gumira Ajidarma, Suwardi Endraswara, Jayus Pete, Krishna Miharja, Keliek Eswe, dan Tryanta Triwikrama yang bernuansa absurd, misalnya membutuhkan persyaratan pendekatan khusus dan kejelian peneliti untuk menjadikannya sebagai objek dan subjek penelitian.
Upaya membandingkan dua karya sastra atau lebih akan membuka wawasan baru bahwa sastra memang kaya makna. Karya sastra tidak sekedar luapan imajinasi, melainkan menyimpan amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya. Hanya peneliti yang menguasai berbagai pengetahuan tentang sastra dapat menemukan keindahan sastra bandingan. Oleh karena itu, sebelum membandingkan karya sastra, layak kiranya seorang calon peneliti memenuhi syarat minimal, yakni memahami karya sastra yang dihadapi layak disandingkan, calon peneliti bersangkutan dapat mencari informasi dengan berbagai cara, misalnya lewat internet atau bertanya kepada ahli sastra.
Kebiasaan mengumpulkan, memilah, dan menafsir bahan-bahan yang didapati seperti yang digunakan oleh disiplin lain juga digunakan dalam sastra bandingan. Hal ini bukanlah berarti sastra bandingan “tenggelam” di keluasan laut kesusastraan seperti yang pernah disebukan oleh Wellek. Setiap pemisahan menendakan adanya sesuatu yang tidak asli lagi. Keaslian dalam sastra bandingan merupakan masalah dan wujud yang memerlukan kemahiran dan pendekatan tertentu.
Perspektif pemilihan bahan penelitian sastra bandingan tidak sama dengan penelitian sastra pada umumnya. Menurut hemat penulis perspektif pemilihan utama untuk menentukan objek dan subjek meliputi aspek:

a.       Pararel yang menjadi tumpuan untuk menyeleksi bahan.
b.      Varian yaitu munculnya kemiripan dalam hal tokoh, ritme, tipografi, dan unsur-unsur lain.
Pararel dapat dikatakan sebagai usur kesamaan, sedangkan varian sebagai unsur perbedaan tetapi tetap saling terkait. Varian dapat disebut juga “bentuk lain” dari yang sudah ada, sedangkan pararel memiliki bermacam-macam wujud, antara lain ejaan, diksi, kalimat, bait, gantra, ide, tema, dan muatan budaya. Aspek pararel yang pertama-tama perlu diperimbangkan. Dengan cara mencermati pararel peneliti bisa menentukan fokus penelitin. Meskipun demikian kegagalan menemukan aspek varian dalam memilih bahan juga berpengaruh pada sukses atau tidaknya suatu penelitian.

D.    Pengumpulan Data
    Cara untuk pengumpulan data sastra bandingan memang tidak jauh berbeda dengan penelitian sastra pada umumnya. Hanya saja, sastra bandingan membutuhkan tahap-tahap yang lebih taktis. Salah langkah dalam pengumpulan data, hasil penelitian akan sia-sia. Pembacaan harus terus menerus dilakukan sehingga memperoleh data akurat. Oleh karena itu langkah pengumpulan data perlu dicermati agar menemukan data yang sahih dan valid. Belum tentu seluruh unsur teks menjadi data sastra bandingan, sehingga unsur-unsur yang tidak relevan dapat dianulir atau disingkirkan. Data sastra bandingan perlu pula disertai upaya “merelevansikan” teks satu dengan yang lainnya.
     Akurasi data didukung oleh penguasaan teori sastra, kririk sastra, sejarah sastra, dan hubungan interdisipliner sastra. Ketidakmampuan menguasai berbagai persyaratan penelitian sastra bandingan dapat menyulitkan peneliti. Berikut merupakan beberapa strategi pengumpulan data yang dipertimbangkan:
a)      Masalah karya sastra terjemahan yang umumnya menjadi tajuk awal data sastra bandingan. Terjemahan sering memunculkan kreativitas, penyesuaian dengan lingkungan, penyelarasan, dan sebagainya. Ada kalanya terjemahan lebih indah dari warna aslinya. Hal ini dapat menggoda peneliti dalam pengumpulan data.
b)      Pembatasan geografis secara sempit juga tidak pernah terwujud. Apa yang harus dilakukan terhadap penulis yang menulis dalam bahasa yang sama tapi memiliki kewarganegaraan bebeda? Karya para pengarang yang menulis dalam bahasa yang sama namun berkebangsaan berbeda, bahkan dengan ide yang mirip, layak dijadikan sebagai sumber data bandingan. Karena itu wajar membandingkan karya George Bernard Shaw dan karya H.L.Mencken, atau antara karya O’Casy Sean dan karya Tennecesse Williams. Karya Tafik Ismail boleh dibandingkan dengan karya Suparta Brata yang terampil menggunakan bahasa dialek Jawa Timuran dapat dapat dibandingkan dengan karya Turiyo Regilputro yang menggunakan dialek Banyumasan.
c)      Sejauh mana persamaan diambil diantara perbedaan-perbedaan. Sastra Inggris dan Amerika pada zaman kolonial, misalnya tidak memiliki perbedaan yang jelas. Demikianpun Maeterlinek dan Verbaeren yang berkebangsaan Belgium tetapi keduanya menulis dalam bahasa Prancis. Apakah penelitian hubungan karya mereka dengan simbolisme Prancis dianggap sebagai sastra bandingan? Bagaimana pula dengan penulis Ireland yang menulis dalam bahasa Inggris dan penulis Finland yang menulis dalam bahasa Swedia? Kesukaran yang sama juga terwujud dalam penelitian mengenai kedudukan Ruben Dario dari Nicaragua dalam kesusastraan Spanyol atau Gottfried Keller dari Switzerland dan Conrad Ferdinand Meyer, Adalbezt Stifteg serta Hugo Von Hofmannsthal berkebangsaan Austria dalam kesusastraan Jerman. Lain pula dengan penuliss Amerika T.S. Eliot dan Thomas Mann dari Inggris yang memiliki bahan dan asal usul yang sama. Begitu pula kalau ada penulis dari Jawa tetapi telah lama tinggal di Jakarta hingga menulis dalam bahasa Jawa versi Betawi. Persilangan budaya yang dipertaruhkan setiap pengarang dapat mewarnai pengumpulan.
d)     Ada juga penulis-penulis dari negara yang sama tetapi menulis dalam bahasa dan dialek yang berlainan. Kesusastraan Wales berhubungan dengan kesusastraan Inggris, kesusastraan “Low German” berhubungan dengan kesusastraan Jerman, kesusastraan Flenish berhubungan dengan kesusastraan Prancis (Belgia), kesusastraan Sicila berhubungan dengan kesusastraan Italia, dan sebagainya. Seorang pujangga besar, R.Ng Ranggawarsita, yang pernah menulis dengan bahasa Belanda, tentu memiliki nuansa estetis yang berbeda. Darmanta Jatman yang menulis puisi dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris, layak dijadikan sumber data.
     Sumber data sastra bandingan sudah tidak terbatas pada empat hal di atas. Peneliti dapat mengembangkan ke jalur-jalur yang lebih kecil. Peneliti dapat merumuskan langkah-langkah berhadapan dengan objek penelitian. Ketika objek penelitian sudah dapat dipastikan memiliki varian, baru mulai menerapkan langkah: menyejajarkan unsur kata yang ada kemiripan tulisan dan bunyi, menyejajarkan  unsur yang memiliki konteks yang sama. Unsur-unsur yang telah disejajarkan kemudian digolongkan atau dipisahkan satu sama lain, lalu diberi tanda atau nomor.
Konsep “kesejajaran”(aqality) amat penting dalam sastra bandingan. Kesejajaran yang tampak realis memudahkan peneliti, sebaliknya kesejajaran yang irealis atau tak tampak membutuhkan kecerdasan dan imajinasi. Oleh karena itu untuk menentukan materi akan membutuhkan: memori bacaan yang telah dikuasai dan memori penguasaan teori atau konsep.

E.     Pendekatan dan Model
Sastra bandingan tidak hanya besifat membandingkan karya-karya sastra saja, sehingga diperlukan perspektif  yang jelas agar hasilnya berkualitas. Pendekatan mengarahkan ketingkat penekanan dalam pembahasan. Dalam penelitian yang bersifat komparatif, kemudian dijumpai hal-hal yang historis, atau suatu penelitian yang bersifat teoritis, membutuhkan pendekatan kritis.
Pendekatan yang perlu diambil dalam studi sastra bandingan setidaknya meliputi tiga macam yaitu:
Pertama, sastra bandingan folkoristik. Sastra bandingan ini lebih terkait dengan kisah-kisah, dongeng, dan sejumlah tradisi lisan. Sastra lisan juga dapat diambil dari ritual dan tradisi lisan lainnya yang memiliki varian kesamaan. Bandingan juga menekankan bagaimana persebaran(difusi) ceritanya. Studi bandingan cenderung menuju ke arah migrasi atau transmisi cerita dari waktu ke waktu dan dari wilayah ke wilayah. Dalam konteks ini, hadirnya TKI keberbagai negara, transmigrasi, serta wisata dalam jangka tertentu, sering menyebarluaska sastra lisan. Bandingan demikian dianut oleh folkloris dan orang yang bergerak pada tradisi lisan, yang di Indonesia dipelopori oleh James Danandjaya, kemudian muncul nama-nama Suripan Sadi Hutomo, Pudentia MPSS, Ayu Sutarta, dan Setya Yuwana Sudikan yang membandingkan folklor sebagai aset tradisi lisan.
Kedua, sastra bandingan komparatif, yakni upaya membandingkan dua karya sastra atau lebih dari suatu negara dengan negara lain. Bagaimana reputasi pengarang juga dapat terlihat dari bandingan ini. Pasangan surut reputasi pengarang dapat ditunjukan oleh sastra bandingan. Dalam konteks ini, sastra terjemahan seakan-akan menjadi “ladang basah” bagi kiprah sastra bandingan. Adanya ekspor dan import buku-buku sastra amat menyuburkan studi sastra bandingan. Dari sini pula muncul ciri khas, aliran, dan gaya pengarang tertentu dan wilayah tertentu.
Ketiga, sastra bandingan supratekstual, yaitu sastra bandingan dalam kerangka menurut sastra dalam kaitannya dengan fenomena lain. Fokus bandingan adalah hal ikhwal yang berada pada tataran“spratekstual”, diatas teks, atau bahkan dibalik teks itu sendiri. Meskipun demikian sastra bandingan jenis ini tetap menggunakan kerangka ilmu sastra. Teori sastra, seperti metafora, naratologi, semiotik, dan estetika tetap diperlukan. Namun sorotan sastra cenderung tertuju pada aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, kejiwaan, politik, ekonomi. Dalam konteks ini,para pemerhati antropologi seperti PM Laksono terkadang secara tidak langsung ikut terjun dan mempelajari bandingan mitos Key dan Jawa.
Ketiga pendekatan tersebut akan melahirkan model-model penelitian sastra bandingan. Model adalah suatu bentuk perumpamaan yang memudahkan peneliti sastra   bandingan membaca data secara lengkap.
Sebuah model dapat ditemukan dalam pernyataan yang bersifat mengumpakan. Dalam buku-buku atau artikel tentang teori sastra sering terdapat berbagai istilah, seperti intratekstual, intertekstual, kontekstual dan struturalisme dinamik. Berbagai ragam teori sastra itu sebenarnya adalah model pemahaman sastra. Maka sastra bandinganpun dapat memilih salah satu  model yang tepat sejalan dengan fenomena teks yang dibandingkan.
Model diperoleh setelah peneliti membandingkan sastra secara intensif. Oleh karena itu data sastra bandingan amat kompleks, maka perlu membangun model dalam bentuk diagram, garis, skema, dan sejenisnya. Model merupakan komponen kedua yang terpenting setelah asumsi dasar, karena model merupakan perumpamaan, analogi, kiasan tentang gejala yang dipelajari, sehingga seringkali model juga menjadi seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah asumsi dasar. Model penelitian sastra bandingan merupakan skema yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Model ini merupakan perumpamaan tentang gejala yang dipelajari dan menjadi pembimbing seseorang peneliti sastra banding dalam mempelajari gejala tersebut.   Model berupa kata (uraian) atau gambar, namun umumnya brupa uraian. Berbeda halnya dengan model pembantu yang selain umumnya berupa gambar,model juga biasa digunakan untuk memudahkan menjelas-kan hasil analisis atau teorinya. Melalui model komunikasi hasil sastra bandingan mudah terbaca oleh orang lain. Model ini bisa berupa diagram,skema,bagan atau sebuah gambar yang akan membuat orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan oleh seseorang.
Model dibangun atas dasar data analisis yang matang. Dengan membandingkan sekian banyak karya sastra, berulah peneliti akan menemukan model. Misalkan saja, model persebaran mitos Dewi Sri, model humor kancil, model kisah romantik,model horor,dan sebagainya. Model itu semacam garis besar,berupa diagram atau gambaran selintas tetapi memuat keutuhan wilayah penelitian. Setiap orang bisa menampilkan model, namun logis dan bermakna. Model merupakan bagian abstraksi dari hasil analisis sastra banding. Model akan mewakili pola pikir seseorang dan bahkan juga sekelompok orang. Bangunan model menjadi  jembatan pemahaman total terhadap karya sastra agar pola-polanya jelas.

F.     Tahap-tahap Analisis Sastra Banding
    Analisis sastra banding memerlukan ketelitian yang jernih. Adapun hal yang dibutuhkan ketika menganalisis adalah konstruksi analisis harus jelas,tegas,dan mengarah ke sastra bandingan. Analisis selalu menuju pada penemuan relasi antara dua karya atau lebih antara karya sastra dengan aspek lain.kesejajaran menjadi tumpuan analisis.
     Analisis menjadi inti suatu penelitian. Kegagalan analisis berarti juga kegagalan penelitian.dalam konteks ini, Jost (1974:37) menawarkan metode analisis yang disebut genetik atau poligenetik. Analisis yang menurut kesejarahan atau asal usul karya sastra serta hubungan sebab akibat. Perunutan proses pengaruh-mengaruhi pada dua karya sastra tentu tidak mudah, kecuali dilakukan dengan tafsir dan analogi kritis. Analisi-analisis genetik dapat dilakukan secara emik dan etik. Analisis secara emik adalah analisis berdasarkan data tanpa menghiraukan teori yang digenggamnya. Hasil analisis berupa simpulan data yang “bermain”. adapun analisis secara etik adalah analisis yang membangun kerangka berpikir hingga ada rumusan jelas mengenai apa yang hendak dilacak. Bertolak pada gagasan Francois Jost, analisis sastra bandingan seyogyanya memusatkan perhatian pada interaksi dan kemiripan dua  karya sastra atau lebih pada sastra nasional ,karya pengarang, fungsi khusus dalam proses transmisi, yang dilihat dari segi teknik dan doktrin sastra. Berdasarkan hal ini, selanjutnya peneliti memisahkan menjadi bagian-bagian kecil, meliputi (1) source(sumber) yang digunakan pengarang, sumber yang memberi inspirasi, misalnya berupa buku atau sumberlain yang dijadikan  dasar penulisan;(2) fortune (kesuksesan), yaitu respon yang dicapai oleh pengarang tertentu;(3)image atau mirage, yakni gagasan yang mengenai hal-hal tertentu yang dimiliki oleh setiap bangsa. Analisis sastra banding membutuhkan kejelian dalam hal konteks, teks, ruh sastra, teori sastra, kesejarahan dan sebagainya.
     Pada bagian lain Francois Jost (dalam rahman, 2000:6-7) mengemukakan empat hal jurus tahap analisis sastra bandingan, yaitu:                                                                                                                                                                                             
(  1)   Mencermati karya sastra satu dengan lainya menelusuri pengaruh karya sastra satu dengan yang         lainya, termasuk disini adalah interdisipliner sastra bandingan, seperti sosiologi, filsafat, psikologi;
(  2)   Kategori yang mengkaji tema karya sastra.
(  3) Kategori yang menganalisis gerakan atau kecendrungan yang menandai suatu pradaban, misalnya      realisme dan renaissance,serta
(  4)  Analisis bandingan antara genre satu dengan genre yang lain.
     Analisis sastra bandingan memang sulit dilepas dari aspek pengaruh. Paling tidak ada enam jenis pengaruh yang terdapat dalam karya sastra, yaitu pinjaman langsung, pengaruh budaya asal, sastra dalam pengasingan, pengaruh negtif yang berupa penolakan pengarang terhadap ide tertentu yang datang dari budaya lain, keberuntungan pengarang yang memengaruhi pengarang lain, dan penghianatan kreatif para penerjemah dan editor. Sebenarnya keenam pengaruh tersebut           masih bisa di tambah dengan plagiarisme, epigonistis, dan pelesapan halus. Ketiga hal yang disebut terakhir membedakan mana karya yang jujur, mana karya  yang kreatif, dan mana karya yang “kotor”. Tugas analisis sastra bandingan adalah menemukan berbagai jenis pengaruh dan tidak mengambil kesimpulan yang menyesatkan. Pada saat peneliti telah menemukan berbagai unsur pengaruh dalam suatu karya sastra, orisinalitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode analogi. Hubungan asosiatif antar karya.

     Sastra bandingan memang tidak harus membandingkan lembar perlembar, kata per kata, melainkan hanya perlu menghubungkan keseluruhan karya dan penekanan hal-hal penting dengan kaidah bandingan. Penilaian okjektif dan subjektif digunakan sekaligus agar memproleh interpretasi yang meyakinkan. Tidak satupun kriteria khusus diletakan ke atas peneliti,kecuali teori yang pernah dikuasai sebelumnya.
     Analisis menjadi ujung tombak keberhasilan penelitian. Analisis yang gagal tanpa menemukan sesuatu yang signifikan, sastra bandingan seperti memasuki ruang kosong. Hampa! Dalam bahasa sederhana, penulis sepakat dengan pemikiran analisis Guyard (Madiyant, 1996:16-20) bahwa analisis sastra bandingan perlu mengambil jarak baik terkait kebahasaan maupun kebangsaan. Tugas utama analisis sastra bandingan adalah meliputi analisis pertukaran tema,ide,buku,atau pengalaman batin di antaranya dua karya. Syarat dasar seorang analisis sastra bandingan sebagai berikut:
Ø  Seorang yang paham sejarah sastra, sekalipun tidak berarti seorang sejarahwan. Culture history memang penting sebagai pegangan analisis, namun pengetahuan kritik sastra juga tidak boleh diabaikan.
Ø  Penguasaan dan kepekaan mengnai dinamika sastra  dan pertalian aantara sastra dalam deretan kreativitas.
Ø  Perlu membaca karya dalam bahasa aslinya, baru menurut terjemahan, salinan, saduran, baik disengaja maupun tidak disengaja.
      Disisi lain, analisis sastra bandingan harus mampu menemukan fenomena orisinalitas dan atau imitasi dari beberapa karya yang dibandingkan. Fokus analisis selalu dikaitkan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sikap apriori dalam analisis sebaiknya dihindarkan, sebaliknya analisis dilakukan secara mendalam agar mampu menemukan hipogram, tradisi, dan afinitas yang memadai.
                                      

                               
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dalam  penelitian sastra bandingan, ada beberapa metode yang harus diperhatikan antara lain: Perspektif dalam sastra bandingan, subjek dan objek sastra bandingan, persyaratan objek dan subjek sastra bandingan, pengumpulan data, pendekatan studi sastra bandingan, tahap-tahap analisis sastra bandingan.
Perspektif adalah sudut pandang. Perspektif penelitian sastra bandingan terkait dengan sudut pandang apa saja yang digunakan dalam bandingan. Perspektif ini akan menentukan sejumlah paradigma penelitian secara menyeluruh. Perspektif dapat pula disebut sifat dan atau arah studi sastra bandingan. Sastra bandingan memuat empat perspektif, yakni: Penelitian yang berperspektif komperatif, Penelitian yang berperspektif historis, Penelitian yang berperspektif teoritis, dan Penelitian yang berperspektif antardisiplin.
Yang dimaksud dengan objek adalah “bahan penelitian” yang menjadi fokus sastra bandingan. Objek berkaitan dengan muatan apa yang terdapat dalam sastra, yang dominan dan layak dibandingkan. Persoalan objek sastra bandingan dapat terkait dengan tema, tokoh, aspek sosial, kecerdasan emosi, dan sebagainya. Sastra bandingan merupakan salah satu ranah studi sastra yang memerlukan objek khusus. Objek ini perlu dipilih atau diseleksi agar penelitian berjalan dengan maksimal. Dan sama halnya dengan metode pengumpulan data pada penelitian objek yang lain.
Tidak pernah terbayangkan bahwa tidak semua karya sastra dapat dibandingkan secara acak. Sastra bandingan seharusnya tidak sembarang, melainkan perlu menemukan diantara dua karya atau lebih yang memiliki ciri-ciri kemiripan yang dinamakan varian. Ada tiga syarat utama dalam sastra bandingan, yakni:
1)      Varian bahasa, artinya dua karya yang bahasanya berbeda tetapi memiliki varian tema, latar, tokoh, atau pesan yang lain
2)      Varian wilayah, artinya dua karya atau lebih dari daerah berbeda namun memiliki varian, misalnya ideologi, kultural, judul, dan sebagainya.
3)      Varian politik, artinya dua karya atau lebih melukiskan kekuasaan yang berbeda.
Cara untuk pengumpulan data sastra bandingan memang tidak jauh berbeda dengan penelitian sastra pada umumnya. Hanya saja, sastra bandingan membutuhkan tahap-tahap yang lebih taktis. Salah langkah dalam pengumpulan data, hasil penelitian akan sia-sia. Pembacaan harus terus menerus dilakukan sehingga memperoleh data akurat. Oleh karena itu langkah pengumpulan data perlu dicermati agar menemukan data yang sahih dan valid. Belum tentu seluruh unsur teks menjadi data sastra bandingan, sehingga unsur-unsur yang tidak relevan dapat dianulir atau disingkirkan. Data sastra bandingan perlu pula disertai upaya “merelevansikan” teks satu dengan yang lainnya. Akurasi data didukung oleh penguasaan teori sastra, kririk sastra, sejarah sastra, dan hubungan interdisipliner sastra. Peneliti dapat merumuskan langkah-langkah berhadapan dengan objek penelitian. Ketika objek penelitian sudah dapat dipastikan memiliki varian, baru mulai menerapkan langkah: menyejajarkan unsur kata yang ada kemiripan tulisan dan bunyi, menyejajarkan  unsur yang memiliki konteks yang sama.
Sastra bandingan tidak hanya besifat membandingkan karya-karya sastra saja, sehingga diperlukan perspektif  yang jelas agar hasilnya berkualitas. Pendekatan mengarahkan ketingkat penekanan dalam pembahasan. Dalam penelitian yang bersifat komparatif, kemudian dijumpai hal-hal yang historis, atau suatu penelitian yang bersifat teoritis, membutuhkan pendekatan kritis. Pendekatan yang perlu diambil dalam studi sastra bandingan setidaknya meliputi tiga macam yaitu: Pertama, sastra bandingan folkkoristik,  Kedua, sastra bandingan komparatif, Ketiga, sastra bandingan supratekstual.

Analisis sastra banding memerlukan ketelitian yang jernih. Adapun hal yang dibutuhkan ketika menganalisis adalah konstruksi analisis harus jelas,tegas,dan mengarah ke sastra bandingan. Analisir selalu menuju pada penemuan relasi antara dua karya atau lebih antara karya sastra dengan aspek lain.kesejajaran menjadi tumpuan analisis.